Wednesday 11 June 2014

Mesjid Jami Matraman, Jakarta Diresmikan Ahli Waris Pangeran Diponegoro

Masjid Jami Matraman (1837)
Pegangsaan, Jakarta Pusat

Sudah jadi kebiasaan masyarakat Melayu tempo dulu di Batavia,
memplesetkan kata-kata yang sekiranya dianggap sulit untuk diucapkan.
Banyak contoh nama-nama daerah di Betawi yang penyebutannya
digampangkan sedemikian rupa. Misalnya daerah Mester di kawasan
Jatinegara.

Kata Mester, kala itu sebenarnya terucap untuk menyebutkan sebuah
tempat dimana seorang pejabat Belanda tinggal di daerah itu--tanahnya
membentang dari Salemba sampai daerah Jatinegara. Orang itu biasa
dipanggil Meester Cornelis. Maka orang-orang Betawi yang ingin
bepergian ke tempat itu menyebutnya, Mester.

Satu lagi yang juga masih berdekatan dengan wilayah Mester adalah
daerah Matraman. Konon daerah ini merupakan pusat komunitas mantan
prajurit-prajurit Kerajaan Mataram, Yogyakarta. Banyak dari sebagian
prajurit yang diutus Sultan Agung untuk menyerang VOC pimpinan Jan
Pietersen Coen di Batavia, memilih tetap tinggal di Batavia setelah
gagal merebut pusat pemerintahan kolonial itu. Diduga
prajurit-prajurit itu bukan tentara reguler, melainkan para relawan
dari golongan masyarakat biasa di Mataram sana.

Jadi karena di daerah itu banyak orang-orang dari Kerajaan Mataram,
orang Melayu di Batavia menyebutnya Matraman. Dari asal kata
Mataraman, yang artinya tempat orang-orang Mataram. Sebagai anggota
masyarakat dari sebuah kerajaan Islam, tentunya tingkat religiusitas
mereka juga tidak diragukan lagi. Ini terbukti, di masa-masa awal
mendiami daerah itu awal abad 18 mereka langsung mendirikan tempat
ibadah. Tempat yang menjadi cikal bakal berdirinya Masjid Jami
Matraman sekarang.

Pada tahun 1837 dua orang generasi baru keturunan Mataram yang lahir
di Batavia, H. Mursalun dan Bustanul Arifin, memelopori pembangunan
kembali tempat ibadah itu. Setelah selesai pembangunannya, dahulu
masjid ini diberi nama Masjid Jami' Mataraman Dalem. Yang artinya
masjid milik para abdi dalem (pengikut) kerajaan Mataram. Dipilihnya
nama itu dimaksudkan sebagai penguat identitas bahwa masjid itu
didirikan oleh masyarakat yang berasal dari Mataram. Dan memang
terbukti hingga kini masjid itu disebut dengan Masjid Jami Matraman.

Melihat tampilan arsitekturnya, Masjid Jami Matraman dipengaruhi oleh
gaya dari Mekah dan India. Sebagai seorang yang menyandang gelar haji
pada masanya, H. Mursalun terkagum-kagum dengan bangunan Masjidil
Haram dan Taj Mahal. Dua ciri kuat dari arsitektur kedua masjid itu
adalah, bentuk beranda yang menggunakan pilar-pilar tipis dengan
profil melengkung-lengkung diantaranya. Lalu bentuk kubah yang bulat
bundar serta menara disamping masjid. Hal inilah yang juga
kelihatannya diterapkan pada Masjid Jami Matraman.

Penggunaan masjid secara resmi dikukuhkan oleh Pangeran Jonet dari
Kasultanan Yogyakarta, yang merupakan keturunan langsung dari Pangeran
Diponegoro. Sholat Jum'at pertama di Masjid Jami Matraman itu juga
dipimpin sendiri oleh Pangeran Jonet. Sejak itu hingga masa-masa
pergerakan, Masjid Jami Matraman diramaikan oleh berbagai aktivitas
keagamaan. Karena letaknya yang berdekatan dengan kantong-kantong
pergerakan pemuda-daerah Pegangsaan dan Kramat, masjid ini sempat juga
dicurigai sebagai tempat memupuk gerakan anti kolonial.

Maka pada tahun 1920, pemerintah kolonial Hindia Belanda berniat
membongkar Masjid Jami Matraman. Setelah sebelumnya memanggil beberapa
tokoh masyarakat dan ulama sekitar masjid ke HofdBureau--semacam
kantor polisi zaman itu. Peristiwa itu membangkitkan amarah masyarakat
sekitar Masjid Jami Matraman. Dipimpin langsung oleh H. Mursalun dan
Bustanul Arifin yang ketika itu telah berusia lebih dari seabad,
masyarakat sekitar menggalang kekuatan dan mengadakan mobilisasi
massa.

Rupanya reaksi keras dari masyarakat itu menciutkan nyali pemerintah
Belanda untuk membongkar masjid. Bahkan untuk mengambil hati dan
simpati, tahun 1923, pemerintah Hindia Belanda ikut membantu renovasi
bagian yang rusak dari Masjid Jami Matraman yang sekarang berada di
Jalan Matraman II No. 1 Rt. 008/04 Kel. Pegasangsaan Kec. Menteng,
Jak-Pus.

Tidak sulit mencari lokasi masjid ini. Letaknya yang berdekatan dengan
perempatan Matraman--perpotongan empat jalan raya yakni Jalan Matraman
Raya, Pramuka, Salemba dan Matraman, dapat dengan mudah dijangkau baik
dengan transportasi umum maupun pribadi. Terminal bus Kampung Melayu
atau Pasar Senen dapat dipilih sebagai alternatif. Sebelum Jalan
Tambak dan setelah Kali Ciliwung dari arah Jalan Raya Matraman,
sedikit ke Selatan sudah tampak bangunan Masjid Jami Matraman

situs lain yang mendukung tukisan ini adalah :
http://arkeologi.web.id/articles/arkeologi-islam/1115-jejak-sultan-agung-mataram-di-masjid-jami-matraman
http://duniamasjid.islamic-center.or.id/1078/masjid-jami-matraman-jakarta/

No comments:

Post a Comment