Friday 22 August 2014

Mengapa RM Djonet ada di Bogor ?

Setelah memadamkan perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro tahun 1830, Belanda mengalami kerugian sangat besar, kerugian yang belum pernah dialami selama melakukan kolonisasi di Indonesia, kerugian ini secara materi ataupun non materi, materi lebih terfokus kepada banyaknya tentara Belanda yang meniggal, fasilitas milik Belanda yang rusak/hilang, ataupun lebih spesifik dalam segi keuangan yang banyak menghabiskan uang negara, kerugian non materi yaitu adanya menumbuhkan kepercayaan ataupun rasa nasionalisme tinggi dari kaum terjajah/pribumi artinya bukan mustahil di lain hari akan terjadi perang yang lebih besar daripada perang jawa sebagai efek domino perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponogoro, walaupun perang ini hanya 5 tahun yaitu 1825-1830.
Pengaruh non materi ini yang sangat ditakutkan oleh Belanda, bukan mustahil lahir hari akan muncul Pangeran Diponegoro lain di lain daerah. Salah satu cara untuk menghilangkan pengaruh/efek perang Diponegoro ini adalah dengan membuang/menghancurkan semua yang berhubungan dengan Diponegoro khususnya keluarga dari Pangeran Diponegoro, dari istri, anak anak, bahkan sampai cucu, termasuk semua senapati, pengawal, bahkan simpatisan.
Dalam tradisi dan kepercayaan orang jawa, seorang pemimpin besar yang kaya akan kekuatan spiritual biasanya akan melahirkan keturunan besar juga, apalagi Pangeran Diponegoro bukan hanya seorang anak raja Jawa yang paling besar/sulung, yang menolak diangkat jadi penerus raja secara tradisi tetapi beliau adalah pemimpin spririual hal ini dibuktikan dengan diangkatnya beliau oleh semua golongan masyarakat (bukan secara tradisi) baik ningrat, petani, tokoh agama, dll menjadi pemimpin negara dan agama yang kekuasaannya melebihi para raja jawa saat itu.
Atas dasar itulah Belanda membuang semua keluarga Diponegoro bahkan sampai seorang bayipun. Belanda telah mendata semua keturunan Diponegoro, salah satunya adalah RM Djonet Dipomenggolo anak Pangerang Diponegoro dari istrinya yang bernama Ray Maduretno disamping anak Prawirodiredjo III adipati maospati yang anti kolonial juga cucu Sultan Hamengkubuwono II, jelas darah anti kolonial mengalir dalam darah RM Djonet. Ada beberapa sumber yang menerangkan perjalanan RM Djonet ke Batavia/Bogor :
Setelah Pangeran Diponegoro beserta keluarga tinggal beberapa hari di Batavia, beliau diangkut dengan kapal laut untuk diasingkan ke Sulawesi/Ambon, ketika itu RM Djonet melarikan diri dengan cara menceburkan ke laut, kemudian menepi di kepulauan seribu untuk selanjutnya menuju ke Batavia/Jakarta.
Ketika ditawan di Batavia, sebelum diangkut oleh kapal laut, RM Djonet melarikan diri dan mencari tempat aman, sedangkan adik beliau bernama RM Roub diasingkan ke Ambon.
Tahun 1830, setelah usai perang jawa semua keluarga besar Diponegoro ditangkap, tetapi RM Djonet berhasil melarikan diri dan beliau mengejar ayahanda tercinta ke Batavia bermaksud ingin membebaskannya tetapi Tuhan menentukan nasib lain, sang ayah sudah diasingkan ke Sulawesi/Ambon.
Berdasarkan fakta berupa peninggalan beberapa makam, tempat/kampung bekas tinggal dan kesaksian beberapa keluarga, di Bogor, RM Djonet sampai di Bogor tidak sendiri, beliau disertai keluarga yang terdiri dari istri dan anak anaknya. Dalam tulisan sebelumnya saya sudah menulis analisa tahun kapan anak anak RM Djonet dilahirkan hasilnya anak kedua RM Djonet yaitu RM Harjodipomenggolo dilahirkan kira kira tahun 1827, artinya beliau dilahirkan pada saat perang Diponegoro. Berarti pada saat RM Djonet datang di Bogor beliau sudah mempunyai keluarga, disamping itu karena RM Djonet adalah anak seorang raja/pemimpin spiritual dan tokoh disegani, dapat dipastikan beliau dikawal beberapa pengawal/prajurit, di Bogor ada kampung jabaru yg akronim dari jawa baru, ada juga kampung dukuh jawa, yang pernah ditinggali oleh RM Djonet, berarti dapat disimpulkan pada saat RM Djonet di Batavia beliau disertai keluarga dan para pengawalnya.
Ketika RM Djonet sampai di Batavia ataupun pada saat melarikan diri, disamping mencari tempat yang paling aman dari kejaran belanda juga tempat itu mendekati dengan kultur RM Djonet, ada beberapa tempat yang mendukung dengan hal itu :
1. Bogor, Pakuan, Buitenzorg, bekas ibukota Pajajaran yang sudah menjadi hutan belantara setelah Pajajaran runtuh, berada di selatan Batavia hal ini dihubungkan dengan istri beliau yang merupakan seorang Tionghoa, bernama Bun Nioh anak keluarga/marga Tan, keluarga Tan sampai sekarang mempunyai peninggalan rumah yang sekarang menjadi cagar budaya di Jl Suryakencana, Bogor, menurut kesaksian ahli waris rumah keluarga Tan, leluhur mereka adalah seorang panglima perang di jaman Belanda, berdasarkan sejarah peperangan Mataram, banyak sekali dibantu dibantu warga Tionghoa, bukan mustahil walaupun panglima Tan merupakan serdadu belanda, beliau simpati terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro, salah satunya adalah dengan dengan melindungi RM Djonet di Bogor, bukan itu saja bahkan Panglima Tan juga menikahkan anaknya dengan RM Djonet.
2. Matraman, Batavia, Jakarta, pada saat Sultan Agung menyerang Belanda/VOC di Batavia tahun 1628-1629, Matraman dijadikan basis pasukan mataram, hal ini dilihat dari Matraman yang merupakan akronim dari Mataram, bahkan setelah perang usai, mereka tidak kembali lagi ke mataram tetapi memilih tempat di sekitar matraman sampai menurunkan anak cucu. Hal ini yang membuat RM Djonet tinggal di sekitar Matraman, bahkan beliau sempat meresmikan mesjid jami Matraman dan beliau menjadi imam shalat jum'at pada tahun 1837. Karena aktifitas ini akhirnya keberadaan RM Djonet diketahui oleh belanda dan pihak belanda bermaksud menangkapnya tetapi RM Djonet dapat melarikan diri ke tempat lain yang lebih aman, untuk itu dipilihlah di Bogor di bawah kaki gunung salak yaitu sekitar gunung batu, pasir kuda, jabaru. Di wilayah ini ada salah seorang anak Adipati Surialaga, bernama Rd Tumenggung/Patih Candramenggala yang wafat tahun 1857, beliau dimakamkan di belakang mesjid AlHuda gunung batu, sebagai anak seorang Adipati tentulah beliau mempunyai pengaruh besar, dan mustahil juga keberadaan RM Djonet tidak diketahui olehnya, besar kemungkinan RM Djonet mendapat perlindungan dari anak Adipati Surialaga ini, indikasinya adalah dengan menikahnya salah satu cucu Pangeran Diponegoro yaitu Ray Gondomirah dengan cucu Adipati Surialaga yaitu Tumenggung Suriamenggala, semua makam mereka ada di belakang Mesjid AlHuda, Gunung Batu, masih di daerah Gunung Batu tidak jauh dari Mesjid Alhuda yaitu di gg wates, ada makam anak anak RM Djonet. Sedangkan makam RM Djonet di Cikaret, Bogor. Walaupun RM Djonet adalah anak seorang raja dan salah satu tokoh yang mendirikan/membuka kota Bogor (Bogor sejak runtuhnya Pajajaran adalah sebuah hutan belantara, mohon baca sejarah Bogor), dan diperkirakan sekitar 20%-30% dari warga Bogor merupakan keturunannya, tetapi sejarah tentang RM Djonet sangat minim sekali karena keberadaan beliau sangat dirahasiakan oleh keluarga untuk menghindari incaran belanda bahkan sampai saat inipun masih ada tradisi tabu bagi sebagian keluarga untuk mengupas sejarah RM Djonet, tapi walaupun seperti itu dalam penulisan silsilah keturunan keluarga, sudah ada tradisi penulisan silsilah dengan baik, selain itu ada juga tradisi pernikahan antar kerabat, untuk memperat tali persaudaraan juga untuk menjaga kerahasiaan RM Djonet . Silsilah keluarga yang telah dibuat dengan baik oleh leluhur ratusan tahun lalu, menjadi saksi /bukti/wasilah bertemunya kembali keturunan RM Djonet yang sudah berpisah ratusan tahun lalu, ternyata silsilah ini mempunyai kesamaan dan titi temu yang sama, artinya silsilah ini bukan berdasar khayalan yang tidak masuk akal, tetapi sudah masuk ke dalam karya ilmiah, artinya SHAHIH..

Tuesday 17 June 2014

Analisa Usia RM Djonet Dipomenggolo



Rd Siti Rahmat (uyut Titi) ketika tahun 1973

Ray Gandamirah bin RM Harjodipomenggolo, wafat 5 Djuli 1908, pasir kuda, Bogor

Rd Candramenggala bin Adipati Surialaga, wafat 1857, makam pasir kuda, bogor, mertua Ray Gandamirah

Rd Tumenggung Suryamenggala bin Rd Candramenggala, wafat 1886, suami Ray Gandamirah, makam pasirkuda, Bogor.

Ray Gondomirah adalah cucu RM Djonet Dipomenggolo bin Pangeran Diponegoro, berarti beliau turunan ke 3 dari Pangeran Diponegoro, beliau menikah dengan Rd Tumenggung Suryamenggala wafat 1886, salah seorang turunan dari Pangeran Santri (buyut Syekh Dahtul Kahfi/Nurjati guru Pangeran Cakrabuana/Rara Santang, makam Gunung Sembung Cirebon) dari trah Adipati Suryadilaga. Pangeran Santri menyebarkan agama Islam di Sumedang Larang dan menurunkan raja raja Sumedang Larang. Ray Gondomirah wafat 5 Juli 1908 dimakamkan di belakang Mesjid Alhuda, Pasir Kuda/Gunung Batu, Bogor, beliau meninggalkan 9 orang putra-putri salah satu cucunya bernama Rd Ratna Kencana kelak dinikahi seorang pujangga besar/ nasional yaitu Marah Roesli (kakek Harry Roesli, seniman) sekitar tahun 1911.
Dari garis anaknya Ray Gondomirah + Tumenggung Suryamenggala lahirlah Rd Rajamirah, beliau merupakan putri bungsu dari 9 bersaudara, salah satu anak dari Rd Rajamirah, yaitu Rd Siti Rahmat sudah mempunyai anak yang dilahirkan tahun 1908 yaitu RH Abubakar Yogapranata, berarti di tahun pada saat Ray Gondomirah wafat, beliau sudah memiliki buyut/cicit.
 Mohon perhatikan silsilah urutan turunan Rd Siti Rahmat, dari trah RM Djonet Dipomenggolo di bawah ini :
RM Djonet Dipomenggolo -> RM Harjomenggolo -> Ray Gondomirah -> R Rajamirah -> R Siti Rahmat
R Siti Rahmat adalah keturunan RM Djonet Dipomenggolo yang ke 4, beliau wafat tahun 1977 di perkirakan minimal di usia 87 tahun (tapi menurut kesaksian anaknya yang bungsu R Enen Yogaprana /pada saat tulisan ini dibuat beliau masih ada, R Siti Rahmat wafat di usia 97 tahun) dan  dimakamkan di Pamoyanan, Bogor. R Siti Rahmat dinikahi R Husen (turunan gg Abesin, Bogor), R Husen adalah camat Ciririp, Purwakarta sekitar tahun 1930-an. Anak laki laki dari R Siti Rahmat + R Husen semuanya memakai kata 'pranata', seperti Yogapranata, Widyapranata, dst.
Kembali ke Rd Siti Rahmat, sebagai pertimbangan usia beliau wafat di usia 87 tahun, saya sertakan foto beliau di tahun 1973, terlihat dari gambaran wajahnya yang berada di usia 83-an (mungkin juga lebih), pertimbangan lain ialah anak beliau yang paling tua adalah RH Abubakar Yogapranata, wafat tahun 2000 di Bandung, dilahirkan pada tahun 1908, berarti tahun kelahiran RH Abubakar Yogapranata sama dengan wafatnya buyut beliau yaitu Ray Gondomirah.
Dengan taksiran minimal beliau wafat di usia 87, berarti R Siti Rahmat, dilahirkan pada sekitar tahun 1890, pada saat anak pertama lahir RH AB Yogapranata, beliau di usia 18 tahun, beliau masih mempunyai kakak tertua bernama R Yasin Winatadiredja, jika paling sedikit selisih usia antara keduanya 1 tahun, berarti R Yasin Winatadiredja lahir 1889.
R Siti Rahmat adalah cucu dari Ray Gondomirah + Tumenggung Suryamenggala, dari anak yang bungsu mereka bernama R Rajamirah yang dinikahi oleh R Kertadiredja. Jika diambil  asumsi secara umum pernikahan di minimal  di usia 17 tahun/ umur yang sama ketika Pangeran Diponegoro nikah, maka R Rajamirah dilahirkan di tahun kelahiran anak pertama R Winatadiredja tahun 1889 dikurangi  17 tahun = 1872, berarti R Rajamirah perkiraan lahir 1872, beliau merupakan  anak bungsu dari 9 bersaudara,  dengan asumsi minimal selisih setiap anak 15 bulan (bisa juga lebih) yaitu 15 bulan dikali 9 anak = 135 bulan, lalu 135 bulan / 12 = 11 tahun 3 bulan, tahun kelahiran  R Rajamirah 1872 dikurangi  11 tahun = 1861, berarti anak tertua dari pasangan Ray Gondomirah + Tumenggung Suryamenggala, yaitu RH Ibrahim dilahirkan pada tahun kira kira tahun 1861.
Kemudian jika asumsi Ray Gondomirah melahirkan anak pertama di usia 17 tahun, berarti tahun kelahiran anak pertama beliau yaitu RH Ibrahim 1861 - 17 = 1844, berarti tahun kelahiran Ray Gondomirah diperkirakan adalah tahun 1844, beliau adalah anak kedua dari RM Harjo Dipomenggolo, cucu RM Djonet Dipomenggolo. Kakak  tertua dari Ray Gondomirah bernama RM Brojomenggolo, jika diasumsikan lagi perbedaan usianya 1 tahun berarti diperkirakan RM Brojomenggolo dilahirkan pada tahun 1843.
Untuk menentukan tahun kelahiran ayah RM Brojomenggolo yaitu RM Harjo Dipomengggolo, diasumsikan tahun lahir anak pertama dikurangi 17 (jika nikah di usia 17 tahun), 1843 - 17 = 1826, artinya RM Harjo Dipomenggolo diperkirakan lahir tahun 1826, dan beliau masih mempunyai kakak tertua bernama RM Ngabehi Dipomenggolo, jika asumsi perbedaan 1 tahun, RM Ngabehi dilahirkan pada tahun 1825 saat pertama pecah perang Diponegoro.
Dan terkahir untuk menentukan usia RM Djonet Dipomenggolo dengan asumsi, tahun usia anak pertama dikurangi 17 tahun, 1825 - 17 = 1808, artinya RM Djonet diperkirakan lahir tahun 1808.
Dari data di atas dapat diambil kesimpulan sbb :
1. Jika RM Ngabehi Dipomenggolo lahir tahun 1825, artinya pada saat Pangeran Diponegoro (ayah RM Djonet Dipomenggolo) ditangkap oleh Belanda tahun 1830, usia RM Djonet adalah 22 tahun.
2. Jika RM Ngabehi Dipomenggolo lahir tahun 1825, artinya beliau beserta adiknya RM Harjo Dipomenggolo dilahirkan di Jogyakarta atau Jawa Tengah.
3. Dengan asumsi RM Djonet sudah menikah beliau beserta istri dan keluarganya, ikut Pangeran Diponegoro dibawa ke Batavia sebelum di asingkan ke Sulawesi.
4. Karena sesuatu hal yang tidak diketahui RM Djonet meloloskan diri beserta keluarganya ketika sampai di Batavia atau ketika ayahnya yaitu Pangeran Diponegoro hendak diasingkan ke Sulawesi.
5. RM Djonet beserta keluarga (??) untuk sementara tinggal di wilayah Batavia hal ini diperkuat dari peresmian Mesjid Jami Matraman, oleh beliau bahkan RM Djonet sendiri yang menjadi imam shalat jum'at disana, adapun tokoh masyarakat setempat yang menjadi saksi saat itu adalah Haji Mursalin dan Bustanul Arifin, keduanya masih trah mataram jaman Sultan Agung. Tuhan memberikan umur panjang kepada Haji Mursalin karena beliau menjadi saksi pula ketika Mesjid Jami Matraman hendak dibongkar oleh Belanda sekitat tahun 1920.
6. Karena aktivitas RM Djonet sangat menonjol di wilayah Batavia, akhirnya keberadaan beliau diketahui oleh Belanda, dan berdasarkan daftar orang yang harus dibawa ke Sulawesi ketika Pangeran Diponegoro hendak diasingkan, memang ada orang yang hilang yang hilang.
7. Karena situasi Batavia sudah tidak memungkinkan untuk tinggal, dengan asumsi keamanan dimana saat itu Batavia adalah sentral kekuatan Belanda, RM Djonet mengasingkan diri  ke wilayah selatan yang lebih sepi, di  kaki Gunung Salak yaitu sekitar pasir kuda, jabaru, Cikaret,  Bogor,  yang pada saat itu masih jarang penghuninya karena Bogor setelah  diserang pasukan Banten+Cirebon tahun 1578, merupakan hutan belantara tak berpenghuni, sampai tahun 1700-an (lihat sejarah Bogor).

Wednesday 11 June 2014

Pangeran Jonet adalah penyebar ilmu Silat

RM Djonet adalah putra dari Pangeran Diponegoro dari istrinya yang bernama RaY Maduretno/RA Diponegoro (cucu Sultan Hamengkubuwo II), ibunya RaY Maduretno (makam imogiri) bernama Bray Maduretno (anak Sultan Hamengkubuwo II) menikah dengan Pangeran Prawirodredjo (adipati maospati/madiun), jadi RM Djonet Dipomenggolo adalah buyut Sultan Hamengkubuwo II dari ibu Ray Maduretno dan ayah Pangeran Diponegoro. Ketika tahun 1957 makam Pangeran Prawirodredjo dipindahkan dari banyusurup ke gunung bancak desa giripurno, Magetan, beliau juga dinyatakan sebagai pejuang perintis melawan Belanda oleh Sultan Hamengkubuwono IX, saksi mata menyebutkan ketika prosesi pemindahan makam dilakukan, saking banyak sekali pelayat, keranda yang membawa tulang belulang Pangeran Prawirodredjo, berpindah tangan dari satu tangan ke tangan lainnya hingga ke liang kubur, dengan kata lain pelayat tidak bisa berjalan karena banyaknya orang, sungguh besar kecintaan warga magetan terhadap beliau, di pemakaman ini telah dikebumikan sebelumnya istri beliau yang bernama Bray Maduretno anak Sultan Hamengkubuowo II.
Saat Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Batavia, ia diikuti putera pertamanya dari istri bernama Ray Maduretno yang bernama Raden Mas Djoned. Saat Pangeran Diponegoro ditahan di Batavia ia ikut dipenjara, lalu ketika Pangeran Diponegoro dan kerabatnya naik kapal untuk dibuang ke Manado, Raden Mas Djoned ini nekat nyebur ke laut dan berenang ke arah sebuah pulau, waktu ia nyebur pasukan Belanda tidak sadar, dan sama sekali tidak... ketahuan. Raden Mas Djoned ini sampai ke Pulau tak berpenghuni di kepulauan seribu.
Selama seminggu ia menunggu di pulau itu lalu ada kapal nelayan kecil yang merapat, rupanya nelayan itu adalah penduduk kampung laut (sekarang sekitar jalan Lagoa). RM Djoned akhirnya ditolong nelayan itu dan dibawa ke kampung laut, hanya beberapa hari di kampung laut, datanglah seorang kyai Betawi yang tau bahwa ini pasti orangnya Diponegoro, kyai itu langsung membawanya ke arah Jatinegara agar jangan sampai ketahuan pihak Belanda. Lalu kyai itu mengorek keterangan bahwa memang ternyata RM Djoned adalah anak sulung Pangeran Diponegoro.
Kyai itu gembira, lalu ia mengarahkan RM Djoned bertemu dengan kelompok Matraman yang merupakan keturunan langsung dari serdadu-serdadu Mataram. Di kampung Matraman RM Djoned berusaha membangun kantung-kantung perang. Tercatat memang kemudian RM Djoned berhasil membangun kelompok anti Belanda dan menyebarkan pelajaran silat mataraman.
Kemajuan dari perkumpulan Djoned ini luar biasa, langkah pertamanya adalah memperbaiki masjid Matraman yang rencananya akan jadi pusat pertempuran baru Perang Diponegoro di Batavia. Sayangnya seorang Haji kaya terlalu berlebihan dan bersemangat membangun masjid sehingga masjid terlihat mewah, inilah yang menimbulkan kecurigaan dari Belanda kenapa kok di Matraman tiba-tiba mendadak ramai. Intel-Intel Belanda bergerak ke Matraman dan ditemukan kejutan luar biasa, ternyata putera sulung Pangeran Diponegoro yaitu RM Djoned berada di Matraman.
Kontan para petinggi militer berunding, akhirnya setelah mendapatkan informasi memang benar bahwa salah seorang daftar tawanan menghilang. Diputuskan agar penangkapan RM Djoned tidak menimbulkan kehebohan agar tidak memancing pihak lain membela RM Djoned, karena kabarnya di wilayah Banten ada kelompok radikal yang bisa saja membela RM Djoned. Dipilihlah penyergapan ke rumah RM Djoned.
Tapi beruntung bagi RM Djoned, saat penyergapan ia sedang berada di Kampung Kuningan bertemu dengan Raden Mustahid keturunan langsung Pangeran Kuningan. Berita penyergapan Raden Djoned ini membuat Raden Djoned langsung diungsikan oleh Raden Mustahid ke sebuah kampung dekat hutan jati, bernama Cilandak. Dari Cilandak kemudian dengan menggunakan gerobak Raden Djoned diungsikan ke Bogor Timur. Di Bogor itu Raden Djoned membangun kampung bernama Jabaru atau Jawa Baru. Di sebuah bukit kecil dekat kampung Jabaru digunakan tempat menernak kuda dan melatih kuda-kuda tunggangan daerah itu kemudian dikenal sebagai “Pasir Kuda”. Di sebelah timur dibuatkan kampung Dukuh Jawa.
RM Djoned terus melakukan gerakan kladenstin melawan Belanda salah satu hasilnya adalah pemberontakan di Condet, gerakan-gerakan radikalisasi petani. RM Djoned juga menyebarkan ilmu silat dimana jawara-jawaranya anti Belanda, pada tahun 1945 para jawara yang baik langsung ataupun tidak langsung mendapatkan tularan ilmu silat Diponegoro ini kelak menjadi petarung-petarung jalanan Revolusi di jam-jam pertama Revolusi Kemerdekaan.
RM Djoned  Dipomenggolo wafat tahun 1837 di Jogyakarta ketika melakukan kerusuhan menurut versi Peter Carey, sedangkan menurut keluarga RM Djoned Dipomenggolo wafat di Bogor tahun 1885,  beliau dimakamkan di gg kosasih, Cikaret, Bogor.
RM Djonet mempunyai 7 anak  bernama  :
1.     RM. Ngabehi Dipamenggala     Jabaru, C-1833
2.     RM. Hardjo Dipomenggolo     Jabaru, C-1834
3.     RM. Harjo Dipotjokro / Pangeran  Gringsing I     Jabaru, C-1835
4.     RM. Harjo  Abdul Manap    Jabaru, C-1836
5.     RM. KH. Sahid Angkrih     Jabaru, C-1835
6.     NYI Mas RAy. Ukin     Jabaru, C-1836
7.     NYI Mas RAy. Okah    Jabaru, C-1837

Mesjid Jami Matraman, Jakarta Diresmikan Ahli Waris Pangeran Diponegoro

Masjid Jami Matraman (1837)
Pegangsaan, Jakarta Pusat

Sudah jadi kebiasaan masyarakat Melayu tempo dulu di Batavia,
memplesetkan kata-kata yang sekiranya dianggap sulit untuk diucapkan.
Banyak contoh nama-nama daerah di Betawi yang penyebutannya
digampangkan sedemikian rupa. Misalnya daerah Mester di kawasan
Jatinegara.

Kata Mester, kala itu sebenarnya terucap untuk menyebutkan sebuah
tempat dimana seorang pejabat Belanda tinggal di daerah itu--tanahnya
membentang dari Salemba sampai daerah Jatinegara. Orang itu biasa
dipanggil Meester Cornelis. Maka orang-orang Betawi yang ingin
bepergian ke tempat itu menyebutnya, Mester.

Satu lagi yang juga masih berdekatan dengan wilayah Mester adalah
daerah Matraman. Konon daerah ini merupakan pusat komunitas mantan
prajurit-prajurit Kerajaan Mataram, Yogyakarta. Banyak dari sebagian
prajurit yang diutus Sultan Agung untuk menyerang VOC pimpinan Jan
Pietersen Coen di Batavia, memilih tetap tinggal di Batavia setelah
gagal merebut pusat pemerintahan kolonial itu. Diduga
prajurit-prajurit itu bukan tentara reguler, melainkan para relawan
dari golongan masyarakat biasa di Mataram sana.

Jadi karena di daerah itu banyak orang-orang dari Kerajaan Mataram,
orang Melayu di Batavia menyebutnya Matraman. Dari asal kata
Mataraman, yang artinya tempat orang-orang Mataram. Sebagai anggota
masyarakat dari sebuah kerajaan Islam, tentunya tingkat religiusitas
mereka juga tidak diragukan lagi. Ini terbukti, di masa-masa awal
mendiami daerah itu awal abad 18 mereka langsung mendirikan tempat
ibadah. Tempat yang menjadi cikal bakal berdirinya Masjid Jami
Matraman sekarang.

Pada tahun 1837 dua orang generasi baru keturunan Mataram yang lahir
di Batavia, H. Mursalun dan Bustanul Arifin, memelopori pembangunan
kembali tempat ibadah itu. Setelah selesai pembangunannya, dahulu
masjid ini diberi nama Masjid Jami' Mataraman Dalem. Yang artinya
masjid milik para abdi dalem (pengikut) kerajaan Mataram. Dipilihnya
nama itu dimaksudkan sebagai penguat identitas bahwa masjid itu
didirikan oleh masyarakat yang berasal dari Mataram. Dan memang
terbukti hingga kini masjid itu disebut dengan Masjid Jami Matraman.

Melihat tampilan arsitekturnya, Masjid Jami Matraman dipengaruhi oleh
gaya dari Mekah dan India. Sebagai seorang yang menyandang gelar haji
pada masanya, H. Mursalun terkagum-kagum dengan bangunan Masjidil
Haram dan Taj Mahal. Dua ciri kuat dari arsitektur kedua masjid itu
adalah, bentuk beranda yang menggunakan pilar-pilar tipis dengan
profil melengkung-lengkung diantaranya. Lalu bentuk kubah yang bulat
bundar serta menara disamping masjid. Hal inilah yang juga
kelihatannya diterapkan pada Masjid Jami Matraman.

Penggunaan masjid secara resmi dikukuhkan oleh Pangeran Jonet dari
Kasultanan Yogyakarta, yang merupakan keturunan langsung dari Pangeran
Diponegoro. Sholat Jum'at pertama di Masjid Jami Matraman itu juga
dipimpin sendiri oleh Pangeran Jonet. Sejak itu hingga masa-masa
pergerakan, Masjid Jami Matraman diramaikan oleh berbagai aktivitas
keagamaan. Karena letaknya yang berdekatan dengan kantong-kantong
pergerakan pemuda-daerah Pegangsaan dan Kramat, masjid ini sempat juga
dicurigai sebagai tempat memupuk gerakan anti kolonial.

Maka pada tahun 1920, pemerintah kolonial Hindia Belanda berniat
membongkar Masjid Jami Matraman. Setelah sebelumnya memanggil beberapa
tokoh masyarakat dan ulama sekitar masjid ke HofdBureau--semacam
kantor polisi zaman itu. Peristiwa itu membangkitkan amarah masyarakat
sekitar Masjid Jami Matraman. Dipimpin langsung oleh H. Mursalun dan
Bustanul Arifin yang ketika itu telah berusia lebih dari seabad,
masyarakat sekitar menggalang kekuatan dan mengadakan mobilisasi
massa.

Rupanya reaksi keras dari masyarakat itu menciutkan nyali pemerintah
Belanda untuk membongkar masjid. Bahkan untuk mengambil hati dan
simpati, tahun 1923, pemerintah Hindia Belanda ikut membantu renovasi
bagian yang rusak dari Masjid Jami Matraman yang sekarang berada di
Jalan Matraman II No. 1 Rt. 008/04 Kel. Pegasangsaan Kec. Menteng,
Jak-Pus.

Tidak sulit mencari lokasi masjid ini. Letaknya yang berdekatan dengan
perempatan Matraman--perpotongan empat jalan raya yakni Jalan Matraman
Raya, Pramuka, Salemba dan Matraman, dapat dengan mudah dijangkau baik
dengan transportasi umum maupun pribadi. Terminal bus Kampung Melayu
atau Pasar Senen dapat dipilih sebagai alternatif. Sebelum Jalan
Tambak dan setelah Kali Ciliwung dari arah Jalan Raya Matraman,
sedikit ke Selatan sudah tampak bangunan Masjid Jami Matraman

situs lain yang mendukung tukisan ini adalah :
http://arkeologi.web.id/articles/arkeologi-islam/1115-jejak-sultan-agung-mataram-di-masjid-jami-matraman
http://duniamasjid.islamic-center.or.id/1078/masjid-jami-matraman-jakarta/

Tuesday 3 June 2014

Silsilah Rd Tumenggung Suriamenggala (suami RaY Gondomirah)

Pangeran Santri  adalah seorang tokoh penyebar agama islam pertama di wilayah kerajaan sumedang larang tahun 1530 ,pada waktu itu sumedang larang di pimpin oleh seorang ratu yang bernama RATU DEWI INTEN DEWATA yang terkenal dengan sebutan RATU PUCUK UMUN, Ibunya bernama Nyi Mas Ratu Istri Patuakan turunan kelima dari Prabu tajimalela. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu Dewi Inten Dewata/sumedang larang dan berhasil mengislamkan kerajaan berikut rakyatnya.
 Pangeran Santri adalah putra Pangeran Palakaran(PANGERAN MUHAMAD) dari istrinya putri sindang kasih, pangeran muhamad adalah putra pangeran panjunan/Syekh Abdurahman dari  istrinya Putri Matang Sari, Pangeran Panjunan adalah Putra Syekh Datuk kahfi,Sedangkan Matang Sari Putrinya Ki Ageng Japura Cucunya Amuk Marugul buyut Prabu Susuk Tunggal canggah Prabu Wastukencana dari kerajaan Sunda,dari garis turunan nenek dari bapak, berarti Pangeran Santri Turunan Prabu Wastu kencana,Generasi ke 6 dari bapak melalui Neneknya. Berikut Silsilah Pangeran Santri :
Dari Nenek Ayah
Prabu Wastukencana->Prabu Susuk Tunggal->Ki Amuk Marugul->Ki Ageng Japura->Nyai Matangsari ->Pangeran Muhammad/Palakaran->Pangeran Santri
Dari Kakek Ayah
Syekh Dahtul Kahfi/Nurjati->Pangeran Panjunan/Abdurahman->Pangeran Muhammad/Palakaran->Pangeran Santri
kemudian
Pangeran Panjunan/Abdurrahman nikah dengan  Matangsari mempunyai anak Pangeran Muhammad/Palakaran mempunyai anak Pangeran Santri


generasi I
Pangeran Santri, berputra
1. Pangeran Geusan Ulun
2. Pangeran Rangga Gede
3. Pangeran Rangga Gempol
4. Panembahan Wirakara
5. Panembahan Aria Tanumaya
6. Ratu Penganten/Raden Suranegara (Pajajaran)

generasi II
6. Ratu Penganten/Raden Suranegara (Pajajaran), berputra
6.1. Adipati Surialaga I
6.2. Adipati Surialaga II

generasi III
6.2. Adipati Surialaga II + Nyi R Hamsyiah (Putri No 14 Rd Aria Wiratanudatar V),berputra
6.2.1. Patih Rangga Candramenggala
6.2.2. Rd Hamzah

generasi IV
6.2.1. Patih Rangga Candramenggala + Nyi Rd Sarimantri, berputra
6.2.1.1. Nyi Rd Murtasiah
6.2.1.2. Nyi Rd Antamirah
6.2.1.3. Tumenggung Suriamenggala
6.2.1.4. Nyi Rd Kasmirah
6.2.1.5. Rd Argamenggala
6.2.1.6. Rd Sacamenggala
6.2.1.7. Nyi Rd Habibah
6.2.1.8. Rd Abdul
6.2.1.9. Rd E Candramenggala
6.2.1.10. Rd Muhyi
6.2.1.11. Nyi Rd Sudah
6.2.1.12. Rd Mursid
6.2.1.13. Nyi Rd Suhemi

generasi V
6.2.1.3. Tumenggung Suriamenggala + Ray Gondomirah (cucu Pangeran Djonet Dipomenggolo bin Pangeran Diponegoro), berputra
6.2.1.3.1. RH Ibrahim (Rd Wiradinegara)
6.2.1.3.2. Nyi Rd Asmaya
6.2.1.3.3. Nyi Rd Enting Aisyah
6.2.1.3.4. Nyi Rd Siti Fatimah
6.2.1.3.5. Nyi Rd Antamirah
6.2.1.3.6. Rd Candraningrat (Suradiningrat)
6.2.1.3.7. Rd Y Gandaningrat
6.2.1.3.8. Rd Indris Tirtadiredja
6.2.1.3.9. Nyi Rd Rajamirah

generasi V
6.2.1.2. Nyi Rd Antamirah + Rd Nitidiredja (turunan Kuningan), berputra
6.2.1.2.1. Rd Asep Asik Sumintadiredja

generasi VI
6.2.1.2.1. Rd Asep Asik Sumintadiredja, berputra
6.2.1.2.1.1. Rd Kertadiredja


6.2.1.2.1.1. Rd Kertadiredja (gen VII) + 6.2.1.3.9. Nyi Rd Rajamirah (gen VI), berputra
6.2.1.2.1.1.1. Rd Yasin Winatadiredja, punya anak tapi tidak punya keturunan
6.2.1.2.1.1.2. Rd Siti Rahmat (makam pamoyanan wafat 1976) nikah dengan R Husein / wafat 1940 (camat Ciririp/Purwakarta)
6.2.1.2.1.1.3. Rd Tatang Muhtar makam Ciluar
6.2.1.2.1.1.4. Rd Icha Aisyah, di Belanda dari tahun 1935


6.2.1.2.1.1.2. Rd Siti Rahmat + R Husein, berputra
6.2.1.2.1.1.2.1. Rd.H.A.B. Yogapranatha, bandung, 2000 (Alm)
6.2.1.2.1.1.2.2. Rd. Syafei (Alm)
6.2.1.2.1.1.2.3. Ny. Rd. Tuti, pamoyanan, 1997 (Almh)
6.2.1.2.1.1.2.4. Rd. Hanafi (Alm)
6.2.1.2.1.1.2.5. Rd. Ali M. Ali Widyapranatha, pamoyanan (Alm)
6.2.1.2.1.1.2.6. Ny. Rd. Neneng Kulsum, sukabumi (Almh)
6.2.1.2.1.1.2.7. Ny. Rd. Hj. Iyoh Roswati, pamoyanan 2013 (Almh)
6.2.1.2.1.1.2.8. Rd. U. Effendi Madyaprana, pamoyanan 1986 (Alm)
6.2.1.2.1.1.2.9. Ny. Rd. Siti Sarah, pamoyanan (Almh)
6.2.1.2.1.1.2.10. Rd. H. Usman Satiaprana (Alm)
6.2.1.2.1.1.2.11. Rd. Enen Sutresna Yogaprana (masih ada saat tulisan ini dibuat)

6.2.1.2.1.1.3. Rd Tatang Muhtar + Ratu Juhriah (makam majalaya dekat cikundul, Cianjur), berputra
6.2.1.2.1.1.3.1. Ny Rd Siti Aminah wafat di sukabumi tahun 1943
6.2.1.2.1.1.3.2. Ny Rd Umriyah wafat pondok cabe 2006

Wednesday 21 May 2014

Sejarah Kakek RM Djonet Dipomenggolo


Pangeran Raden Ronggo Prawirodirdjo III  1795 – 1810,      (Berkedudukan di Istana Wonosari, Maospati dan Yogyakarta), adalah suami dari GBray Maduretno, dimana GBray Maduretno adalah anak Sultan Hamengkubowono II, pasangan Pangeran Ronggo Prawirodirjo III + GBray Maduretno mempunyai anak bernama RAy Maduretno yang dinikahi oleh Pangeran Diponegoro, menurunkan RM Djonet Dipomenggolo, yg dimakamkan di cikaret, Bogor, berarti Pangeran Raden Ronggo Prawirodirdjo III, adalah kakek dari pihak ibu RM Djonet Dipomenggolo

versi 1
RONGGO PRAWIRODIRJO III (1797-1810) Bupati ke 16 adalah  putra dari Ronggo Prawirodirjo II, beliau juga menantu Sultan Hamengku Buwono II atau suami dari  Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, di samping menjadi bupati beliau juga sebagai penasehat Hamengkubowono II bersama Adipati Danurejo II dan Tumenggung Sumodiningrat. Ada 14 Bupati Brang wetan yang berada di bawah pengawasannya, pusat pemerintahannya di Istana Maospati namun beliau sering menetap di Yogyakarta. Beliau mempunyai 3 istana yaitu Yogyakarta, Maospati dan Wonosari.  Ronggo Prawirodirjo III gugur saat perang melawan Pasukan Yogyakarta, atas kehendak Belanda di  Kertosono (17-12-1810), kemudian dimakamkan di pemakaman  Banyu Sumurup. Tahun 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, Ronggo Prawirodirjo III dimakamkan kembali di Pemakaman Giripurno, Gunung Bancak disamping makam Permaisurinya yaitu GKR Maduretno dan dinyatakan  sebagai pejuang perintis melawan penjajahan Belanda.

PERLAWANAN BUPATI MADIUN TERHADAP BELANDA

Pangeran Ronggo Prawirodirjo III termashur keperwiraanya, taat beribadah dan sangat anti terhadap Kolonial Belanda. Beliau memperistri Putri Sultan Hamengku Buwono II, yaitu Gusti Kanjeng Ratu Maduretno. Kabupaten Mediun pada waktu Pemerintahan Ronggo Prawirodirjo III  berpusat di Maospati, namun karena kesibukannya sebagai penasehat Sultan, maka beliau sering menetap di Kraton Yogyakarta. Didalam Kraton Kasultanan sendiri terjadi perseteruan antara Ronggo Prawirodirjo III di bantu Tumenggung Sumodiningrat melawan Adipati Danurejo II yang mengantek pada Belanda.

Sejak 31 Desember 1799, Kekuasaan VOC dibubarkan, dan 1 Januari 1800 digantikan dengan ”Pemerintah Hindia Belanda” yang dipimpin oleh Mr.Willem Daendels yang berpangkat Gubernur Jenderal, hal ini akibat perubahan politik di negeri Belanda, Napoleon Bonaparte dari Perancis berhasil menaklukan Belanda, maka Jawa dikuasai oleh orang Belanda Perancis.

Pada masa ini terjadilah perselisihan antara  Willem Daendels dengan Ronggo Prawirodirjo III, yang diawali dari  permintaan tata tertib upacara protokoler yang di tetapkan Daendels, yaitu dalam upacara pisowanan di Istana Yogyakarta, Residen Belanda dalam menghadap Sultan saat masuk melalui alun-alun utara dengan naik kereta dan di kawal pasukan dengan payung kebesaran dan duduk sejajar dengan Sultan, serta Sultan harus mempersembahkan minuman, karena dianggap sebagai perwakilan Negeri Belanda. Dengan tata tertib tersebut, Ronggo Prawirodirjo III sebagai penasehat Sultan merasa terhina, dan menyatakan tidak senang terhadap Belanda, terutama kepada Patih Danurejo II yang dipandang sebagai otak kekacauan  yang dilakukan Belanda didalam Istana Yogyakarta.

Perselisihan yang paling hebat terjadi saat, Daendels menetapkan hutan-hutan di Jawa termasuk wilayah Madiun menjadi milik Pemerintah Belanda, Hutan di wilayah Madiun di tebang dan di angkut ke Surabaya untuk membuat 20 kapal perang Belanda.

Bersamaan dengan itu, di luar istana banyak terjadi kerusuhan-kerusuhan yang menurut Belanda, semuanya terjadi atas perintah Bupati Madiun.

    Berdasarkan “memorie” Residen Yogyakarta Johanness Gerardus Van Den Berg. Pembunuhan yang dilakukan Bupati Madiun di Desa Delanggu, ketika perjalanan ke Yogyakarta. Putra Raden Ronggo Prawirodirjo minta seekor kambing yang bagus yang digembala, karena pemilik kambing tersebut tidak mau menjual dengan harga berapapun, maka si penggembala terbunuh oleh Raden Ronggo Prawirodirjo, hal ini menjadi sebuah pemberitaan yang hangat di Negeri Agung Yogyakarta.
    Pebruari 1810, Gubernur Jendral H.W. Daendels mengambil tindakan keras dengan adanya kerusuhan yang terjadi di wilayah Ponorogo, yaitu di Desa Ngebel dan Sekedok yang merupakan wilayah Kasunanan Surakarta. Yaitu terjadi pembunuhan dan perampokan yang akhirnya terjadi saling serang di wilayah perbatasan Madiun dan Ponorogo.menurut Babad, Ponorogo selalu menderita kekalahan, karena pertahahanan dan perlawanan di daerah tersebut tidak sebaik dan sekuat pertahanan Kasultanan Yogyakarta yang ada di Madiun, maka Daendels minta agar Sultan Yogyakarta memberi ganti rugi atas kejadian tersebut, akan tetapi Sultan menolak, beliau minta agar hal tersebut diselidiki bersama lebih dahulu. Hasil keputusan dari penelitian, Bupati Madiun di anggap bersalah, maka Bupati Ronggo Prawirodirjo III mengajukan pembelaan dengan pengajuan pengaduan sejenis pada Kasunanan Surakarta, namun tak dihiraukan oleh Daendels.
    Kemudian Perampokan dan pembunuhan serupa  terjadi di wilayah Karesidenan Pekalongan, Semarang, Rembang dan Demak. Kerusuhan tersebut dipimpin seorang Demang dari Tirsana ”Tirtowijoyo” juga dituduh sebagai kaki tangan yang sengaja diselundupkan oleh Ronggo Prawirodirjo III. Untuk kesekian kalinya Ronggo Prawirodirjo III di anggap bersalah.
    Hal yang sangat menyakitkan Ronggo Prawirodirjo III, yaitu penetapan Gubernur Jendral H.W Daendels yang menetapkan bahwa seluruh hutan di Jawa adalah menjadi milik Pemerintah Belanda, dengan penetapan tersebut hutan di wilayah Madiun di babad oleh Residen Yogyakarta Minister Morreess, yang akan digunakan  untuk membuat 20 kapal perang di Surabaya. Ronggo Prawirodirjo III menolak keras penebangan hutan tersebut.

Berdasarkan kesalahan-kesalahan yang telah dituduhkan pada Ronggo Prawirodirjo III tersebut diatas, Gubernur Jendral  W.H. Daendels minta kepada Sultan, agar Bupati Madiun Ronggo Prawirodirjo III beserta kaki tangannya agar diserahkan kepada Belanda untuk mendapat hukuman menurut Undang-Undang negeri Belanda, melalui  Van Broom Belanda menyampaikan 4 tuntutan, yaitu :

1.   Sultan agar menerima upacara protokoler baru yang sudah ditetapkan Daendels.

2.   Mengembalikan Raden Danurejo II sebagai Patih Kerajaan.

(semula dipecat karena berpihak pada Belanda)

3.   Memberhentikan jabatan Patih Raden Tumenggung Notodiningrat. (karena beliau dianggap membahayakan Belanda)

4.   Memanggil Bupati Ronggo Prawirodirjo III, untuk menghadap ke Bogor supaya  minta ampun kepada Gubernur Jendral.

Apabila empat tuntutan tersebut tidak dijalankan, Gubernur Jendral beserta tentara  akan datang sendiri ke Yogyakarta untuk menghukum Sultan. Suasana tersebut diatas memang sengaja dibuat oleh Pemerintah Belanda, agar tulang punggung kasultanan Yogyakarta tersebut lumpuh, serta mengambil alih kekuasaan Mancanegara Timur dari tangan Kasultanan Yogyakarta.

PERLAWANAN RONGGO PRAWIRODIRJO III TERHADAP  BELANDA

Isi tuntutan Pemerintah Hindia Belanda yang akan merobah tatanan Upacara Protokoler Istana yang sangat merendahkan Raja dan menyerahkan Ronggo Prawirodirjo III kepada Gubernur Jendral H.W. Daendels dirasa sangat berat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II, maka tanggal 12-11-1810 Istana Yogyakarta dikepung 1500 pasukan Belanda dengan persenjataan lengkap, hingga akhirnya tuntutan tersebut berangsur-angsur terpaksa dilaksanakan oleh Sultan Hamengku Buwono II, Patih Danurejo II diangkat kembali menjadi Patih Kerajaan, sedangkan Patih Notodiningrat diturunkan jabatannya menjadi Bupati Dalam. Tanggal 13-11-1810 mulai dilaksanakan tuntutan untuk merubah upacara istana dan memerintah Ronggo Prawirodirjo III untuk datang ke Istana Gubernur Jendral di Bogor.

Dalam hati Ronggo Prawirodirjo III, jika memenuhi perintah Sultan (ayah mertuanya) untuk menghadap ke Belanda di Bogor, berarti menyerah dan mau dijajah, apalagi Ronggo Prawirodirjo III telah menyadari bahwa Belanda memang menginginkan kematiannya, namun jika tidak memenuhi , Sultan akan menderita karena harus memenuhi keinginan Gubernur Jendral Belanda.

Ronggo Prawirodirjo III memilih meninggalkan istana Yogyakarta kembali ke Maospati dan menetapkan keputusannya untuk “Melawan Pemerintah Belanda” untuk mengelabuhi Belanda, belau menulis surat kepada Van Broom dan Sultan. Surat kepada Van Broom menyebutkan bahwa beliau akan memenuhi permintaan Belanda untuk menghadap Gubernur Jendral di Bogor. Adapun surat khusus kepada ayahandanya (Sultan) disampaikan melalui Tumenggung Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat, beliau suatu malam menjelang kepergiannya datang ke rumah Raden Tumenggung Notokusumo, pada malam itu Raden Tumenggung  Notodiningrat dan Sumodiningrat (Putra Tumenggung Notokusumo) berada di tempat tersebut. Ronggo Prawirodirjo III menyatakan bahwa beliau sudah tidak tahan dengan tipu muslihat Patih Danuredjo II, beliau pasti ditangkap dan di buang oleh Belanda. Oleh karena itu kehendaknya hanyalah mengikuti istrinya yang telah meninggal dunia, beliau bersedia mati bersama-sama Belanda.

Ronggo Prawirodirjo III akan mengadakan perang gerilya terhadap Belanda di wilayah Mancanegara Timur. Selanjutnya beliau minta agar istananya dijaga dan jembatan-jembatan yang menuju Kabupaten Madiun agar dirusak. Beliau juga  minta agar rencananya itu di beritahukan kepada Sultan agar mendukung perlawanannya terhadap Belanda.

Tanggal 20-11-1810, Bupati Madiun Memproklamasikan “Perang Melawan Pemerintah Belanda”  mendengar pernyataan tersebut H.W Daendels sangat terkejut. Tanggal 21-11-1810, Ronggo Prawirodirjo III tiba di Maospati diikuti oleh 300 prajurit Yogyakarta, dalam perjalanan beliau telah mengadakan pengrusakan dan pembakaran di Surakarta, yang dianggap kaki tangan Belanda. Beliau menyerukan ajakan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda kepada semua rakyat Mancanegara Timur dan masyarakat Tionghoa. Beliau menggunakan gelar baru ”Susuhunan Prabhu ing Alogo” dan Patih Madiun Tumenggung Sumonegoro mendapat gelar ”Panembahan Senopatining Perang”  14 Bupati bawahannya mendapat gelar “Pangeran”

Tindakan pertama, untuk memperluas medan perang, Ronggo Prawirodirjo III mengirim surat kepada Bupati Mancanegara Barat, Bupati Mancanegara Pesisir Utara, dan Para Bupati diwilayah tersebut, Isi surat itu adalah:

    Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta mengakui Ronggo Prawirodirjo III sebagai Sultan Madiun dengan gelar ”Susuhunan Prabhu ing Alogo”
    Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta menyokong perjuangannya melawan penjajah Belanda di Nusantara
    Agar orang laki-laki baik Jawa maupun Tionghoa yang militan, bersedia masuk menjadi tenaga sukarela, mengusir penjajah Belanda
    Agar penduduk seluruh Nusantara mengetahui, bahwa Belanda berusaha mengamankan posisi mereka di Nusantara atas raja-raja daerah, guna terjaminnya  kelangsungan hak monopoli Belanda yang menyusahkan kehidupan rakyat, maka dari itu untuk mengurangi perluasan kekuasaannya segera dilawan sampai titik darah penghabisan
    Agar membinasakan pegawai-pegawai Belanda yang ada terlebih dahulu, perlakuan semena-mena telah dilakukan oleh para pegawai Belanda, mereka mendapat gaji kecil dari Belanda, maka mereka selalu bertindak curang untuk memperkaya diri, akibatnya rakyat sangat menderita.
     Agar semua memohon berkah Sultan Yogyakarta dan Tuhan Yang Maha Esa, agar mendapat perlindungan agar menghindarkan Pulau Jawa ini dari kesulitan untuk melawan penjajah Belanda

Pagi harinya tanggal 21-11-1810, Sultan memanggil  semua Pangeran, sentana, para kerabat dan para Bupati untuk berkumpul, membicarakan perlawanan  Bupati Madiun kepada Belanda, untuk membuktikan bahwa Sultan tidak bersalah maka Sultan melaporkan hal ini kepada Pemerintah Belanda di Semarang, sebagai bukti Sultan menyerahkan Notokusumo dan Pangeran Raden Notodiningrat kepada Pemerintah Belanda dengan syarat apabila Ronggo Prawirodirjo III berhasil ditangkap atau dibunuh, agar kedua pangeran tersebut di kembalikan ke Istana Yogyakarta.

Menurut buku Babad Amangku Buwono, penyerahan  kedua pangeran tersebut mendatangkan suasana duka yang mendalam di istana Yogyakarta, mereka ke Semarang diantar oleh Tumenggung Danukusumo, Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister Engelhard dan nyonya.

Di Semarang pada waktu itu pula,( 21-11-1810 ) sedang berlangsung rapat rahasia antara Gubernur Jendral H.W Daendels dan Panglima Perang Van Broom, yang disusul oleh Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister Engelhard  dengan keputusan bahwa dalam waktu dekat Sultan Hamengku Buwono II akan di copot dan diganti Putra Mahkota, karena Sultan dianggap telah membantu dan melindungi perlawanan Bupati Madiun, kecuali jika ada keputusan sungguh-sungguh dari Sultan Hamengku Buwono II untuk segera membasmi pemberontakan Bupati Madiun.

Berdasar keputusan Semarang tersebut, terpaksa Sri Sultan Hamengku Buwono II segera mengirim pasukan kerajaan yang terdiri dari 1.000 prajurit infanteri dan 12 prajurit kavaleri di bawah pimpinan Panglima Perang Raden Tumenggung Purwodipuro, di bantu 2 ahli tempur Belanda yaitu, Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld untuk menangkap hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo III. Sedang di pihak Bupati Madiun hanya terdiri dari 300 prajurit setia di bawah panglima perang Tumenggung Sumonegoro dan pasukan sukarela yang tak terhitung banyaknya.

Menurut Babad Tanah Jawa, Kabupaten Jipang dan Panolan yang menjadi pusat pertahanan prajurit Kasultanan Yogyakarta, berhasil di hancurkan oleh pasukan Madiun. Dalam ekspedisi ini pasukan Madiun selalu unggul. Tumenggung  Purwodipuro adalah seorang yang penakut, beliau enggan melawan Ronggo Prawirodirjo III, akhirnya pasukan Kasultanan kembali ke Istana Yogyakarta.

Kegagalan ekspedisi pertama ini membuat Sultan marah, Tumenggung Purwodipuro di pecat dari jabatan Bupati Dalam, diangkat panglima baru yaitu, Pangeran Adinegara di bantu Raden Wirjokusumo, Raden Wirjotaruno, Raden Sosrowidjaya dan Raden Tirtodiwirdjo untuk memimpin ekspedisi yang kedua, ekspedisi kedua pun gagal, wilayah daerah Kabupaten Madiun belum terjamah oleh pasukan kasultanan, medan pertempuran berpusat di perbatasan Ngawi dan perbatasan Magetan.

Ekspedisi ketiga dibawah pimpinan Pangeran Purwokusumo, ini juga menemui kegagalan, barulah pada tanggal 7 Desember 1810 diangkat panglima perang Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) dengan dibantu Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld dengan 12 pasukan kavaleri. Pertempuran dahsyat terjadi di pusat-pusat pertahanan Kabupaten Madiun dan mampu dikuasai oleh pasukan Pangeran Dipokusumo, pusat perlawanan tinggal di Kabupaten Madiun. Menurut buku “Overzigt jilid III” bahwa tanggal 7 Desember 1810, pada malam hari,  Istana Maospati, Madiun berhasil diduduki oleh pasukan Yogyakarta tanpa ada perlawanan. Pangeran Dipokusumo menduduki Istana Maospati hingga 3 hari tanpa mendapat gangguan dari musuh, hal ini disebabkan pusat pertahanan telah dipindahkan ke Istanan Raden Ronggo Prawirodirjo III yang di Wonosari, Madiun.

Tanggal 11 Desember 1810, Istana Wonosari dan sekitarnya berhasil diduduki pasukan Yogyakarta, saat itu keluarga Bupati Madiun terpisah dengan pasukan induk,  pasukan Raden Ronggo Prawirodirjo III mundur ke arah timur, yaitu ke Kabupaten Kertosono.

Oleh karena sebagian keluarga Raden Ronggo Prawirodirjo III terpisah dengan pasukan induk maka, 2 adik, beberapa anak dan ibu Raden Ronggo Prawirodirjo III di tangkap dan di serahkan pada Sultan sebagai tawanan di Yogyakarta.

Tanggal 12 Desember 1810 situasi di Madiun sudah aman, hingga Letnan Paulus leluasa mengadakan pengamatan terhadap situasi daerah Madiun, yang kemudian hari dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Belanda. Maka Letnan Paulus adalah orang Belanda pertama yang mengetahui seluk beluk Kabupaten Madiun.

Sejak 10 Desember 1810, pusat pertahanan Raden Ronggo Prawirodirjo III dipindahkan ke Kertosono, dengan sisa  prajurit 100 orang. Tanggal 13 Desember 1810 Pangeran Dipokusumo memerintahkan  pasukan Yogyakarta  mengejar ke Kertosono di bawah perintah Bupati Wirianagara, Bupati Martolojo, Bupati Judokusumo dan Bupati Sumodiwirjo yang di dampingi sersan Leberfeld.

Pada tanggal 17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Kertosono, jatuh korban tak terhingga di kedua pihak. Akhirnya Raden Ronggo Prawirodirjo III dan Bupati Sumonegoro dapat berhadapan langsung dengan Pasukan Yogyakarta , seluruh prajurit dan para Bupati tidak ada yang berani dengan Raden Ronggo Prawirodirjo.

Demi nama keluarga perlawanan dihentikan, yang dihadapi sekarang bukanlah Belanda, tetapi Pangeran Dipokusumo (masih keluarga). Pendirian Raden Ronggo Prawirodirjo III, lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda. Terjadi konflik batin dalam diri Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pangeran Dipokusumo tidak berdosa, ia hanya menjalankan perintah ayahnya, Sultan Yogyakarta yang ditahan oleh Belanda. Apabila Pangeran Dipokusumo tewas, berarti Belanda amat senang karena duri yang berbahaya akan lenyap, keinginan Belanda menguasai Kraton Yogyakarta segera tercapai.

Dengan pertimbangan yang berat tersebut, Raden Ronggo Prawirodirjo III memilih mati dengan pusakanya sendiri, yaitu tombak sakti ”Kyai Blabar” dengan perang pura-pura/setengah hati melawan Pangeran Dipokusumo.

Menurut buku “Sekitar Yogyakarta, karangan Dr. Soekanto yang mengutip dari buku “Aanteekeningen” diutarakan sebagai berikut :

Dalam Babad keturunan Prawirosentiko tertulis, bahwa Pangeran Dipokusumo diperintahkan oleh Sultan menangkap Bupati Wedono Ronggo Prawirodirjo III hidup atau mati; atas permintaan sendiri beliau dibunuh dengan tombak pusaka Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura antara seorang melawan seorang. Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III menemui ajalnya sebagai korban Daendels, Van Broom dan Danuredjo II.

versi 2
 Ronggo Prawirodirjo III adalah Wedono Bupati Brang Wetan dan sekaligus senopati perang  Hamengku Buwono II,  Ketika  Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I)  memisahkan diri dari  Surakarta dan Membangun Jogjakarta. Ronggo Prawirodirjo I atau kakek Ronggo Prawirodirjo III  yang berjasa mengamankan daerah-daerah baru, dan setiap kali berhasil menundukkan suatu daerah, beliau selalu diangkat menjadi Bupati di daerah tersebut hingga pada akhirnya beliau diangkat menjadi Wedono Bupati Madiun, membawahi bupati-bupati lainnya. Prawirodirjo II dan Prawirodirjo III mewaris jabatan Prawirodirjo I. Tidak diperoleh cerita tentang Prawirodirjo II, kecuali bahwa cucu perempuannya kawin dengan Kyai Perdikan Banjarsari Wetan I.

Ronggo Prawiridirjo III adalah tokoh yang militan. Beliau sangat anti Belanda. Dalam hal ini beliau cocok dengan Hamengku Buwono II yang juga anti Belanda. Namun Surakarta saat itu bekerjasama dengan Belanda. Setelah perjanjian Gianti daerah Timur Surakarta "pating dlemok", ada yang masuk Surakarta ada yang masuk Yogyakarta.
Di wilayah kekuasaan Belanda Ronggo Prawirodirjo III melakukan perang  gerilya dan bumi hangus. Beliau mempunyai pengikut yang bisa digerakkan untuk mengacaukan keadaan di daerah Kasunanan ketika beliau melintas dari Yogya ke Madiun, misalnya dengan menggerakkan para "blandong", yaitu penebang kayu di hutan yang dikuasai Belanda, untuk melakukan tebang liar.
Karena kemampuannya di bidang politik, Hamengku Buwono II sering membutuhkan kehadiran Prawirodirjo III di Yogyakarta. Mungkin karena  perannya yang cukup menonjol itulah maka beliau masuk ke dalam cakupan fitnah Danurejo II yang merupakan antek Belanda. Ketika Belanda menghendaki Ronggo Prawirodirjo III ditangkap hidup atau mati, maka patih  Danurejo II menyusun siasat untuk menangkapnya. Tanggal 13 Desember 1810 di utuslah panglima perang Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) untuk menangkap Ronggo Prawirodirjo III dan mampu menduduki istana Maospati, Madiun. 17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Kertosono, hingga Pangeran Dipokusumo bisa langsung berhadapan dengan Ronggo Prawirodirjo III, dengan tombak sakti ”Kyai Blabar” Ronggo Prawirodirjo III bertempur melawan Dipokusumo.

Dalam pertempuran ini terjadi sebuah konflik bathin pada diri Ronggo Prawirodirjo III, yang di hadapi sekarang bukanlah Belanda tetapi saudara sendiri dan keberlangsungan tahta Sultan Hamengku Buwono II, akhirnya dengan berat hati Raden Ronggo memilih mati dengan pusakanya sendiri ”Tombak Kyai Blabar” Dalam versi Babad : karena Pangeran Dipokusumo diperintahkan untuk membawa hidup atau mati, atas permintaanya sendiri beliau dibunuh dengan tombak Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura. Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pahlawan Madiun menemui ajalnya sebagai korban Daendels dan antek-anteknya ”Patih Danurejo II” dengan politik ”Devide et impera” 
Jenazah Ronggo Prawirodirjo III dibawa ke Jogjakarta dengan upacara kebesaran di makamkan di  Banyu Sumurup komplek  makam Imogiri. GKR Maduretno, isteri Ronggo Prawirodirjo memutuskan, tidak mau kembali ke Jogjakarta dan mengembalikan busana raja kepada ayahnya. Ini berarti beliau memutuskan hubungan dengan kraton, kemudian setelah menderita sakit dan meninggal di istana Wonosari, GKR Maduretno memilih dimakamkan di Gunung Bancak. Atas pertimbangan keluarga pada bulan Februari 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, beliau dipindahkan makamnya ke samping makam isterinya, GKR Maduretno, di Gunung Bancak setelah di semayamkan lebih dahulu di Masjid Taman Madiun.

Dengan kejadian ini Hamengku Buwono II merasa terpukul dan mencari tahu latar belakangnya. Akhirnya terungkaplah pengkhianatan Patih Danurejo II, bahwa ada persekongkolan dengan Belanda dan Danurejolah yang memerintahkan penangkapan Prawirodirjo III hidup atau mati guna  memenuhi permintaan Belanda, Danurejo juga  telah mencuri stempel Kraton Jogjakarta untuk  mengeluarkan perintah penangkapan. Akhirnya Patih Danurejo II dihukum penggal di Kraton, yang kemudian dikenal sebagai "patih sedo kedaton".

Tuesday 13 May 2014

Situs cucu Pangeran Diponegoro, Gunung Batu Bogor

situs ini sudah dilindungi oleh Dinas Purbakala, Kota Bogor, lokasi Gunung Batu, Bogor
 Makam Pangeran Harjo Dipomenggolo bin Pangeran Jonet Dipomenggolo, cucu Pangeran Diponegoro, Gunung Batu, Bogor
Makam Pangeran Abdul Manaf (KGPH Abdul Manaf bin Jonet Dipomenggolo, cucu Pangeran Diponegoro, Gunung Batu, Bogor

Friday 28 March 2014

Masuk Daftar UNESCO, Naskah Babad Diponegoro Dicari Sampai ke Belanda

Bukan sekedar pengakuan dari UNESCO saja, ternyata sejarah Pangeran Diponegoro menjadi pelajaran wajib di sekolah inggris dan angkatan darat Inggris sedang mempelajari teknik perang Pangeran Diponegoro untuk diterapkan di sana.

http://news.detik.com/read/2013/07/03/124443/2291302/10/masuk-daftar-unesco-naskah-babad-diponegoro-dicari-sampai-ke-belanda?nd771104bcj


Masuk Daftar UNESCO, Naskah Babad Diponegoro Dicari Sampai ke Belanda

Jakarta - Bangsa Indonesia patut berbangga! Karya tulis kuno 'Babad Diponegoro' yang ditulis Pangeran Diponegoro dan 'Negara Kertagama' yang digubah Mpu Prapanca, diakui UNESCO sebagai dokumen kolektif dunia (Memory of the World). Tak mudah mendapat pengakuan ini karena naskah aslinya bahkan harus diburu sampai Belanda!

"Ini merupakan sesuatu tindakan kolektif dunia yang patut kita banggakan karena untuk masuk UNESCO itu sangat susah. Harus ada dampak nasional dan internasional dan harus ada keasliannya," kata Kepala Litbang Kementerian Kominfo Aizirman Djusan.

Hal itu disampaikan Aizirman dalam acara penyambutan pengakuan UNESCO di Aula Gedung A lantai 2, Kemendikbud, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (3/7/2013). Hadir acara ini mantan Mendikbud Wardiman Djojonegoro.

Pengakuan dunia itu didapat setelah melewati perjuangan panjang. Indonesia melalui Kemendikbud sudah dua kali mengajukan 'Babad Diponegoro' ke UNESCO. Hal itu karena keaslian 'Babad Diponegoro' perlu diteliti dan diverifikasi berulang kali.

Aizirman mengatakan, mantan Mendikbud Wardiman Djojonegoro dibantu Prof Peter Brian Ramsey Carey dari Trinity College, Oxford, Inggris, yang juga adjunct professor Fakultas Ilmu Budaya UI, mencari naskah asli 'Babad Diponegoro' hingga Belanda. Akhirnya naskah 'Babad Diponegoro' berhasil diterima UNESCO sebagai memori kolektif dunia tahun 2012 dan disahkan tahun 2013.

Sementara dalam situs UNESCO, 'Babad Diponegoro' adalah otobiografi pertama dalam sastra Jawa modern dan menunjukkan sensitivitas yang luar biasa atas kondisi dan pengalaman lokal saat itu.

Peter Carey memaparkan 'Babad Diponegoro' adalah otobiografi dan perjalanan hidup Pangeran Diponegoro yang ditulis selama masa pengasingannya di Manado pada 1831-1832. Namun Diponegoro tak menulisnya sendiri, dia menuturkannya kepada seorang juru tulis.

Isi 'Babad Diponegoro' itu, Carey menambahkan, semacam puisi yang tebalnya 1.170 halaman folio. Dalam folio itu ada sejarah nabi, Pulau Jawa dari zaman Majapahit hingga perjanjian Giyanti (Mataram). Yang menarik, otobiografi Diponegoro ini diceritakan dari sudut pandang orang ketiga meski sejatinya menceritakan diri sendiri.

Diponegoro, imbuh Carey, mengibaratkan otobiografinya itu seperti Bahtera Nuh, yang menampung semua budaya Jawa agar bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Tujuannya, supaya tidak melupakan jati diri.

"Setelah dia meninggal, naskah ini diambil dan diterjemahkan oleh Belanda. Karena ini bisa menjelaskan pikiran pribumi. Bagi seorang sejarawan, Bapak Diponegoro adalah sumber bagi sejarawan yang sangat berbobot dan menarik," jelas Carey dalam bahasa Indonesia.

SILSILAH KELUARGA BESAR KETURUNAN RM. DJONET DIPAMENGGALA

Putra-putri
No.     Nama     Tempat/lLahir
1.     RM. NGABEHI DIPAMENGGALA     Jabaru, C-1833
2.     RM. HARJO DIPOMENGGOLO     Jabaru, C-1834
3.     RM. HARJO DIPOTJOKRO / PANGERAN GRINGSING I     Jabaru, C-1835
4.     RM. HARJO ABDUL MANAP     Jabaru, C-1836
5.     RM. KH. SAHID ANGKRIH     Jabaru, C-1835
6.     NYI MAS RAy. UKIN     Jabaru, C-1836
7.     NYI MAS RAy. OKAH     Jabaru, C-1837
Cucu

    1.1. RM.KH. USMAN BAKHSAN (Lebakpasar, C-1854)
    2.1. RM.H. BRODJOMENGGOLO
    2.2. RAy.Hj. GONDOMIRAH
    2.3. RM.H. ABAS
    2.4. RM.H. ABDULRACHMAN ADIMENGGOLO
    2.5. RM.H. MUHAMMAD HASAN
    3.1. RM. HARJO DIPOTJOKRO HADIMENGGOLO / P.GRINGSING II
    4.1. RM.H. EDOJ
    4.2. RM.H. SAYYID YUDOMENGGOLO
    4.3. NYI RAy.Hj. SARODJA
    4.4. NYI RAy.Hj. AMANUNG
    5.1. RM. ASMINI
    5.2. RM. IDRIS
    5.3. RM. ONDUNG

Buyut / Cicit

    1.1.1. RM.H. RANA MENGGALA (Lebakpasar, C-1877)
    1.1.2. RM.H. ABDULGHANI MENGGALA (Lebakpasar, C-1878)
    1.1.3. RM.H. MUHAMMAD HASYIR (AHMAD, C-1879)
    1.1.4. RAy.Hj. ITI (Gg Wahir-Empang, C-1880
    2.1.1. RM.H. WONGSOMENGGOLO (Ciomas)
    2.1.2. RM.H. SOEROMENGGOLO (Ciomas)
    2.1.3. RM.H. ADIMENGGOLO (Ciomas)
    2.1.4. RAy.Hj.UNAN (Loji)
    2.2.1. RM.H. IBRAHIM\RM. ABD.ROCHMAN WIRADIMENGGOLO\RM. WIRADINEGARA
    2.2.2. NYI RAy.Hj. ASMAYA
    2.2.3. NYI RAy.Hj. ENTING AISYAH
    2.2.4. NYI RAy.Hj. SITI FATIMAH
    2.2.5. NYI RAy.Hj. ANTAMIRAH
    2.2.6. RM. TJANDRANINGRAT\RM. ARIO MAD SURODHININGRAT
    2.2.7. RM. YAHYA GONDONINGRAT
    2.2.8. RM. INDRIS TIRTODIRDJO/RM. IDRUS TIRTODIRDJO
    2.2.9. NYI RAy.Hj. RAJAMIRAH/RAy.Hj. MIRAH
    2.3.1. RM.H. ARDJA

Saturday 1 March 2014

Mengerikan di Penjara Pangeran Diponegoro




Mengerikan di Penjara Pangeran Diponegoro

Inilah penjara Pangeran Diponegoro yang sangat pendek atapnya.

Catatan: Tulisan ini telah dibukukan dalam buku Jelajah Negeri Sendiri, penerbit Bentang Pustaka.

Penjara bawah tanah yang terdapat di Museum Fatahillah Jakarta merupakan salah satu saksi sejarah perjuangan Kanjeng Pangeran Diponegoro di Pulau Jawa, dalam upaya mengusir penjajahan Belanda dari bumi nusantara.

Di sinilah Pangeran Diponegoro menjadi tawanan perang selama 32 hari (11 April 1830 sampai 3 Mei 1830).

Dahulu Museum Fatahillah merupakan Gedung Balaikota (Stadhuis). Pembangunannya dimulai tahun 1707 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joanvan Hoon. Gedung ini selesai pembangunannya tahun 1712.

Saat saya mencoba memasuki penjara tersebut, bulu kuduk saya langsung berdiri. Saya ngeri membayangkan betapa sengsaranya para tahan yang mendekam di dalamnya. Ruang tahanan tersebut sangat sempit luasnya kira-kira 6×6 meter persegi.

Tinggi atapnya kurang dari 150 cm. Meskipun ada jeruji jendela, tetap saja terasa pengap. Dengan atap penjara sependek itu, otomatis saat berada dalam penjara, saya terpaksa berjalan dengan posisi badan membungkuk nyaris 110 derajat!

Baru lima menit berada di sini dalam keadaan membungkuk, pinggang dan punggung saya langsung pegal-pegal. Terpaksalah saya ganti posisi dengan berjongkok. Mungkin beginilah rasanya yang dialami Pangeran Diponegoro saat menjadi tawanan perang. Saya seakan bisa merasakan betapa letihnya Pangeran Diponegoro karena tidak bisa berdiri tegap.

Di lantai penjara terdapat bola-bola batu dengan beragam ukuran, ada yang kecil-kecil dan besar. Bola batu yang amat berat ini disambungkan pada rantai baja yang gunanya untuk mengikat kaki tahanan agar tidak dapat kabur dari penjara.


Ini bola batu yang sangat berat. Ada lubang di atasnya untuk merantai kaki tawanan.

Saya sebenarnya termasuk orang yang penakut. Sudah beberapa kali bolak-balik mengunjungi Museum Fatahillah, baru sekarang saya punya nyali masuk ke penjara bawah tanah tersebut.

Di sisi depan Museum Fatahillah, terdapat sebuah penjara lagi yang kondisinya tidak kalah mengerikan. Mengapa? Sebab penjara bawah tanah yang satu ini kondisinya selalu berair. Dahulu, jika airnya makin kotor makin bagus dengan maksud untuk memberikan efek jera bagi para tawanan. Konon jika tidak kuat maka lama kelamaan penghuni penjara berlantai air kotor dan bau ini akan tewas kedinginan dengan sendirinya.


Penjara bawah tanah yang lantainya sengaja dibiarkan berair.

Mengapa Pangeran Diponegoro diperlakukan sekejam itu oleh pemerintah kolonial Belanda? Pada masanya, Pangeran Diponegoro dianggap sebagai salah satu penjahat perang yang keberadaannya sangat ditakuti oleh tentara Belanda. Dibawah pimpinan Diponegoro, Belanda mengalami banyak kekalahan, 8000 tentara Belanda tewas dalam pertempuran. Oleh karena itu pemerintah Belanda mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Sebenarnya akibat perang tersebut, sekitar 200.000 orang Jawa juga gugur.

Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan Hamengkubuwono III Kesultanan Yogyakarta ini memiliki kemampuan strategi perang yang sangat modern, hampir mirip dengan strategi perang jaman sekarang. Oleh karena kemampuannya tersebut, seringkali dalam tempo tidak sampai satu hari, setiap wilayah di Pulau Jawa yang telah dikuasai Belanda, mampu direbut kembali oleh Diponegoro dan pasukan pendukungnya.

Jelaslah Diponegoro merupakan ancaman sangat serius bagi kelangsungan kolonisasi Belanda di Pulau Jawa.


Museum Fatahillah yang berlokasi di Kota Tua, Jakarta

Setelah dari Batavia (sekarang Jakarta), akhirnya Pangeran Diponegoro dipindahkan lagi ke Benteng Amsterdam di Manado selama tiga tahun lamanya.

Tahun 1834 Pangeran Diponegoro diasingkan pemerintah Kolonial Belanda ke Benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan dan wafat dalam pengasingan 8 Januari 1855 di usia 89 tahun.

Sampai saat ini, makam Kanjeng Pangeran Diponegoro yang terletak di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, Makassar-Sulawesi Selatan, selalu ramai dibanjiri pengunjung. (Puri Areta)

Thursday 27 February 2014

Memang Jodoh by Marah Rusli


dikutip dari :
http://bukuygkubaca.blogspot.com/2014/01/memang-jodoh-by-marah-rusli.html
No.326]
Judul : Memang Jodoh
Penulis : Marah Rusli
Penerbit : Qanita
Cetakan : II, September 2013
Tebal : 536 hlm
ISBN : 978-602-9225-84-6

Marah Rusli (1889-1968), nama sastrawan yang juga disebut sebagai Bapak Roman Modern Indonesia ini sangat dikenal melalui karyanya yang monumental  yaitu novel  Siti Nurbaya (1920). Novel roman ini menjadi salah satu icon sastra Indonesia dan menjadi salah satu bacaan wajib para siswa ketika mempelajari kesuasteraan Indonesia. Saking populernya novel  ini sampai-sampai Siti Nurbaya menjadi idiom yang umum digunanakan masyarakat Indonesia untuk menyatakan pasangan yang dijodohkan orang tuanya secara paksa

Selain Siti Nurbaya karya-karya lainnya yang sudah diterbitkan yaitu La Hami (1952), Anak dan Kemenakan (1956), Gadis yang Malang, terjemahan novel karya Charles Dickens (1922). Selain keempat judul itu ternyata ternyata masih ada karya terakhir Marah Rusli yang masih berupa naskah dan belum pernah diterbitkan yaitu Memang Jodoh

Naskah Memang Jodoh yang merupakan novel autobiografis ini merupakan kado ulang tahun pernikahan ke 50 Marah Rusli dengan  Rd. Ratna Kencana (2 November 1961).  Naskah asli novel ini ditulis dalam huruf Arab Gundul lalu diketik dengan mesin tik manual dan rampung pada 1961.  Naskah ini tersimpan rapih selama puluhan tahun karena memang Marah Rusli sendiri yang mengizinkan naskahnya ini diterbitkan setelah semua tokoh yang ada dalam novelnya inu meningga dunia. Dan untuk itu butuh 50 tahun lamanya sebelum akhirnya di bulan Mei 2013 yang lalu  Memang Jodoh diterbitkan.

 Anak ketiga Marah Rusli, Siti Nur Chairani (85 tahun) dan naskah asli milik ayahnya
[Sumber  foto : http://store.tempo.co]



Seperti  dalam novel Siti Nurbaya, dalam karya terakhirnya ini Marah Rusli kembali menggugat adat Padang dalam hal perjodohan terutama di kalangan kaum bangsawan. Namun kali ini bukan berdasarkan imajinasinya semata tetapi berdasarkan apa yang ia alami sendiri selama 50 tahun pernikahannya dengan istrinya, seorang gadis berdarah bangsawan Sunda.

Seperti dalam kehidupan aslinya dimana Marah Rusli adalah seorang keturunan bangsawan Padang maka dalam dalam novel inipun dikisahkan seorang pemuda keturunan bangsawan bernama Marah Hamli. Di awal novel dikisahkan Hamli yang baru saja lulus dari Sekolah Rakjat di Bukittinggi. Awalnya ayahnya menginginkan Hamli melanjutkan studi-nya ke negeri Belanda namun kepergian Hamli ini tidak diizinkan oleh ibunya  karena khawatir anak semata wayangnya terpikat oleh gadis barat karena sebenarnya Hamli sudah akan dijodohkan dengan gadis Padang yang sepadan dengan dirinya.

Gagal berangkat ke Belanda, Hamli merantau ke Bogor ditemani neneknya. Di sana ia melanjutkan studinya ke sekolah pertanian di Bogor. Sebelum berangkat Hamli menyadari bahwa dirinya menderita sakit 'pilu' yang menyebabkan dia selalu merasa galau dan rindu akan sesuatu yang tidak dimengertinya.

Tadinya Hamli berharap dengan merantau di Bogor maka penyakit pilunya akan sembuh. Namun ternyata  Hamli tidak juga kunjung sembuh hingga akhirnya ia bertemu dengan Din Wati, gadis Priangan berdarah biru yang menawan hatinya dan menyembuhkan penyakit pilu-nya. Hamli sadar bahwa cintanya terhadap Din Wati akan mendapat tantangan dari keluarganya karena hal itu melanggar adat Padang yang tidak mengizinkan pernikahan beda suku.

Namun hal ini tidak menghalangi Hamli untuk menikah dengan gadis pujaannya. Dengan didukung oleh neneknya dan restu dari ayahnya, apalagi setelah diyakinkan dengan dua buah ramalan bahwa perjodohan mereka sudah ditakdirkan oleh Tuhan Hamli nekad memutuskan untuk melanggar adat. Ia  rela "dibuang" oleh kaum keluarganya demi cintanya pada Din Wati. 

Walau kelak Hamli menikah dengan Din Wati, keluarga-nya di Padang tidak menyerah, demi kehormatan keluarga dan untuk mempertahankan adat Padang segala cara diupayakan keluarganya untuk meruntuhkan pernikahan Hamli dengan Din Wati  mulai dari penggunaan ilmu hitam hingga  memaksa Hamli untuk berpoligami, mengambil istri kedua yang berasal dari suku Padang dimana hal itu adalah sebuah kewajaran dan kehormatan bagi bangsawan Padang.


"..lazim laki-laki kita beristri banyak. Bahkan baik; tanda disukai, dihargai, dan dimuliakan orang..." (hlm 337)

Begitu gencanya usaha yang dilakukan kaum keluarga Hamli di Padang untuk tetap menikahkannya dengan gadis Padang ditambah berbagai kesulian dalam rumah tangga  Hamli yang datang silih berganti membuat Hamli bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah  ini akibat dari perbuatannya yang melanggar adat leluhurnya? Sanggupkah Hamli tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak berpoligami dan mempertahankan pernikahannya dengan istri yang yang dicintainya?

Lika-liku kehidupan Hamli dan perjodohannya memang sangat menarik untuk disimak. Di novel ini kita tidak hanya disuguhkan sebuah drama pernikahan Hamli dan Din Wati beserta intrik-intrik yang dilakukan keluarganya untuk menghancurkan pernikahan Hamli  namun kita juga diajak menyelami adat Padang yang begitu keras mengatur perjodohan dan pernikahan yang merupakan hak mutlak orang tua.

"Tetapi di sana, perwakinan itu semata-mata perkara orangtua dan para ninik mamak  yang akan kawin itu serta kaum keluarganya. Anak yang dikawinkan, tak tahu menahu dan tak suka menyuka dalam perkawinannya; melainkan harus menurut dengan buta tuli kermauan orang tuanya, ninik mamaknya, dan kaum keluarganya"

"Keturun bangsawan  tinggi Padang dan menurut aturan Padang dia tak boleh kawin dengan perempuan yang tidak berasal dari Padang. Dan kalau anak itu perempuan lebih sulit lagi. Sedangkan laki-lakinya tidak diizinkan kawin dengan perempuan negeri lain, apalagi perempuannya. Sebab, itu suatu kehinaan yang besar di mata orang Padang" (hlm 155)

Dan bagaimana jika si anak tidak mau menuruti perjodohan yang diatur oleh orang tuanya?

"Anak itu sendiri, tidak boleh membantah, kalau dia tak ingin dibuang dari kaum keluarganya"
(hlm 155)

Mengapa demikian kerasnya orang Padang mengatur hal-hal yang menyangkut perjodohan, rupanya inilah alasannya. ;

"Bagaimana jadinya negeri Padang, jika  telah ditinggalkan oleh anak-anaknya kelak? Siapa yang akan mengurus negeri dan harta pusaka yang tersimpan itu? Siapa yang akan mengerjakan sawah dan ladang yang terbengkalai? Tidakkah semua itu akan jatuh juga ke tangan orang lain apabila tak ada yang mengurus dan memeliharanya? "
(hlm 172-173)

"Akan jadi apakah kelak adat istiadat kita, pusaka nenek moyang kita yang kita pegang teguh sejak semula? Niscaya akan lenyaplah ia dari tanah air kita ini karena disanggah oleh yang muda-muda. Dan dengan lenyapnya itu, akan hilangkah pula bangsa kita;
lebur dalam bangsa campuran"
(hlm 367)


 Marah Rusli & Raden Ratna Kencana bersama 9 dari 11 cucunya (1951-52)
(Sumber foto : Memang Jodoh, Qanita, 2013)

Masih banyak hal menarik dalam novel ini yang bisa kita pelajari, lewat tokoh Hamli penulis menyampaikan kritik yang tajam  terhadap adat Padang yang demikian keras dalam menentukan jodoh bagi kaumnya karena baginya hal tersebut  sudah tidak sesuai dengan jaman yang telah berubah. Selain itu kita juga akan melihat bagaimana Hamli begitu teguh dan keras menentang poligami dengan cara yang santun

Tidak hanya adat Padang di novel ini juga kita melihat bagaimana orang Sunda  juga mengatur perjodohan bagi anak-anaknya walau tidak sekeras orang Padang dan bagaimana orang Sunda yang diwakli oleh Din Wati dan saudara-saudaranya melihat Padang itu sebagai  'tanah seberang', sebuah tempat yang menakutkan bagi perempuan Sunda.

Selain itu karena novel ini berdasarkan apa yang dialami oleh penulisnya maka peristiwa meletusnya Gunung Kelud pada 1919 yang menelan ribuan jiwa itu terekam dalam novel ini karena pada saat itu penulis kebetulan sedang tinggal dan bekerja di Blitar bersama istri dan anak-anaknya. Hanya saja ada perbedaan mengenai jumlah korban jiwa. Wikipedia mencatat letusan Gunung Kelud tahun 1919 menelan 5.160 jiwa, sedangkan novel ini menyebutkan angka yang jauh lebih tinggi.


"Sesungguhnya bencana letusan gunung Kelud ini telah meminta korban nyawa kira-kira 30.000 orang: selain rumah dan harta benda, kebun, dan hewan yang telah punah"
(hlm 434)

Selain pengalaman penulis saat menghadapi bencana alam Gunung Kelud, di bab terakhir sekaligus penutup novel ini dikisahkan pengalaman Hamli saat Belanda dan tentara sekutu melakukan aksi polisionil nya. Di bagian ini tampak jelas kebencian penulis terhadap pasukan NICA yang selalu ditulis dengan "Anjing NICA". Membaca bab penutup novel ini kita akan disuguhkan dengan penjelasan yang detail tentang perjuangan gerilyawan Indonesia dengan pasukan Belanda dimana Hamli ikut berjuang di dalamnya sehingga bab ini terasa lain dibanding bab-bab sebelumnya yang didominasi lika-liku pernikahannya dengan Din Wati. Bagi saya pribadi bab ini menjadi bab antiklimaks dan terasa agak membosankan.

Namun ada satu hal yang menarik yang saya dapatkan di bab terakhir ini adalah tentang nasib anak-anak yang dimanfaatkan oleh tentara Belanda untuk menjadi mata-mata yang nyaris dibunuh oleh para gerilyawan.

"Di sana Hamli melihat beberapa anak kampung yang ditinggalkan oleh tentara gerilya dibawa ke Bumi Jawa untuk dibunuh di sana. Kesalahan anak-anak kecil ini adalah menunjukkan tempat kediaman tentara gerilya kepada Belanda...... Anak-anak ini melakukan pengkhianatan ini karena dibujuk oleh mata-mata Belanda yang banyak sampai ke Pegunungan Selamat dengan sepotong roti, beberapa batang rokok sigaret dan uang beberapa rupiah.

Karena kasihan akan nasib anak-anak yang belum tahu apa-apa ini, Hamli menyarankan supaya anak-anak ini jangan dibunuh, melainkan dididik di Bumi Jawa menjadi mata-mata gerilya melawan Belanda. Pikiran Hamli ini dibenarkan oleh tentara gerilya dan dituruti"
(hlm 522)

Karena seluruh kisah dalam novel ini diangkat dari pengalaman pribadi penulisnya maka kisah tentang anak-anak tersebut bukanlah imajinasi penulisnya melainkan memang fakta yang ada di masa itu. 

Dari semua kisah yang tertuang dalam novel ini tentunya ada banyak hal yang dapat kita ambil dari novel ini. Dengan setting kehidupan dan adat masyarakat Minang di masa lampau novel ini juga dapat menjadi sumber yang berharga ketika kita ingin memahami bagaimana kultur budaya dan adat Minang yang begitu mengikat dan mempengaruhi kehidupan masyarakatnya di masa lampau dan hingga kini masih terasa jejak-jejaknya walau sudah tergerus arus zaman dan waktu.

Walau Novel Memang Jodoh ditulis lebih dari 50 tahun yang lampau dengan cita rasa bahasa dan  kosakata lama termasuk pantun, peribahasa, dan beberapa perumpamaan melayu yang disisipkan dalam novel ini namun novel ini masih sangat nyaman dibaca di masa kini bahkan cita rasa bahasa lamanya lah yang membuat novel ini menjadi begitu sesuai dengan setting kisahnya sehingga kita seakan terlempar ke awal abad ke 20

Dan yang juga menjadi keistimewaan novel ini, seperti yang diungkapkan Seno Gumira Ajidarma dalam endorsment-nya jika biasanya kisah sastra berlatar belakang Minang selalu mengetangahkan konflik antara adat dan agama, tidak demikian dengan novel ini  karena yang dipertentangkan adalah konflik antara adat versus kemerdekaan individual. Perjuangan seorang tokoh yang berjuang membebaskan dirinya dari adat yang membelenggu kebebasan individunya dalam mencari dan memilih pasangan hidupnya.

Akhir kata ada banyak hal yang dapat kita petik dari novel ini, namun yang pasti inilah yang menjadi tujuan utama Marah Rusli menulis Memang Jodoh yang diwakili oleh tokoh Marah Hamli dalam pidatonya kepada anak cucu dan keluarganya di hari ulang tahun pernikahannyya

"Niatku semata-mata ingin mengingatkan kepincangan-kepincangan pelaksanaan adat istiadat, yang tak baik lagi dipertahankan, bahkan seharusnya sudah sejak dulu diperbaiki, diganti, sehingga dapat disesuaikan dengan zaman yang telah beralih dan masa yang telah berubah. Agar mereka selamat di tengah arus pergaulan dunia yang luas seperti  kaum-kaum lain yang lebih dulu maju. Semoga penderitaan dalam rumah tangga kami, menjadi peringatan dan penyuluh dalam perkawinan mereka, yang penuh karunia, rahmat, dan nikmat dari Tuhan.Amin!."
(hlm 20-21)