Friday 28 March 2014

Masuk Daftar UNESCO, Naskah Babad Diponegoro Dicari Sampai ke Belanda

Bukan sekedar pengakuan dari UNESCO saja, ternyata sejarah Pangeran Diponegoro menjadi pelajaran wajib di sekolah inggris dan angkatan darat Inggris sedang mempelajari teknik perang Pangeran Diponegoro untuk diterapkan di sana.

http://news.detik.com/read/2013/07/03/124443/2291302/10/masuk-daftar-unesco-naskah-babad-diponegoro-dicari-sampai-ke-belanda?nd771104bcj


Masuk Daftar UNESCO, Naskah Babad Diponegoro Dicari Sampai ke Belanda

Jakarta - Bangsa Indonesia patut berbangga! Karya tulis kuno 'Babad Diponegoro' yang ditulis Pangeran Diponegoro dan 'Negara Kertagama' yang digubah Mpu Prapanca, diakui UNESCO sebagai dokumen kolektif dunia (Memory of the World). Tak mudah mendapat pengakuan ini karena naskah aslinya bahkan harus diburu sampai Belanda!

"Ini merupakan sesuatu tindakan kolektif dunia yang patut kita banggakan karena untuk masuk UNESCO itu sangat susah. Harus ada dampak nasional dan internasional dan harus ada keasliannya," kata Kepala Litbang Kementerian Kominfo Aizirman Djusan.

Hal itu disampaikan Aizirman dalam acara penyambutan pengakuan UNESCO di Aula Gedung A lantai 2, Kemendikbud, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (3/7/2013). Hadir acara ini mantan Mendikbud Wardiman Djojonegoro.

Pengakuan dunia itu didapat setelah melewati perjuangan panjang. Indonesia melalui Kemendikbud sudah dua kali mengajukan 'Babad Diponegoro' ke UNESCO. Hal itu karena keaslian 'Babad Diponegoro' perlu diteliti dan diverifikasi berulang kali.

Aizirman mengatakan, mantan Mendikbud Wardiman Djojonegoro dibantu Prof Peter Brian Ramsey Carey dari Trinity College, Oxford, Inggris, yang juga adjunct professor Fakultas Ilmu Budaya UI, mencari naskah asli 'Babad Diponegoro' hingga Belanda. Akhirnya naskah 'Babad Diponegoro' berhasil diterima UNESCO sebagai memori kolektif dunia tahun 2012 dan disahkan tahun 2013.

Sementara dalam situs UNESCO, 'Babad Diponegoro' adalah otobiografi pertama dalam sastra Jawa modern dan menunjukkan sensitivitas yang luar biasa atas kondisi dan pengalaman lokal saat itu.

Peter Carey memaparkan 'Babad Diponegoro' adalah otobiografi dan perjalanan hidup Pangeran Diponegoro yang ditulis selama masa pengasingannya di Manado pada 1831-1832. Namun Diponegoro tak menulisnya sendiri, dia menuturkannya kepada seorang juru tulis.

Isi 'Babad Diponegoro' itu, Carey menambahkan, semacam puisi yang tebalnya 1.170 halaman folio. Dalam folio itu ada sejarah nabi, Pulau Jawa dari zaman Majapahit hingga perjanjian Giyanti (Mataram). Yang menarik, otobiografi Diponegoro ini diceritakan dari sudut pandang orang ketiga meski sejatinya menceritakan diri sendiri.

Diponegoro, imbuh Carey, mengibaratkan otobiografinya itu seperti Bahtera Nuh, yang menampung semua budaya Jawa agar bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Tujuannya, supaya tidak melupakan jati diri.

"Setelah dia meninggal, naskah ini diambil dan diterjemahkan oleh Belanda. Karena ini bisa menjelaskan pikiran pribumi. Bagi seorang sejarawan, Bapak Diponegoro adalah sumber bagi sejarawan yang sangat berbobot dan menarik," jelas Carey dalam bahasa Indonesia.

SILSILAH KELUARGA BESAR KETURUNAN RM. DJONET DIPAMENGGALA

Putra-putri
No.     Nama     Tempat/lLahir
1.     RM. NGABEHI DIPAMENGGALA     Jabaru, C-1833
2.     RM. HARJO DIPOMENGGOLO     Jabaru, C-1834
3.     RM. HARJO DIPOTJOKRO / PANGERAN GRINGSING I     Jabaru, C-1835
4.     RM. HARJO ABDUL MANAP     Jabaru, C-1836
5.     RM. KH. SAHID ANGKRIH     Jabaru, C-1835
6.     NYI MAS RAy. UKIN     Jabaru, C-1836
7.     NYI MAS RAy. OKAH     Jabaru, C-1837
Cucu

    1.1. RM.KH. USMAN BAKHSAN (Lebakpasar, C-1854)
    2.1. RM.H. BRODJOMENGGOLO
    2.2. RAy.Hj. GONDOMIRAH
    2.3. RM.H. ABAS
    2.4. RM.H. ABDULRACHMAN ADIMENGGOLO
    2.5. RM.H. MUHAMMAD HASAN
    3.1. RM. HARJO DIPOTJOKRO HADIMENGGOLO / P.GRINGSING II
    4.1. RM.H. EDOJ
    4.2. RM.H. SAYYID YUDOMENGGOLO
    4.3. NYI RAy.Hj. SARODJA
    4.4. NYI RAy.Hj. AMANUNG
    5.1. RM. ASMINI
    5.2. RM. IDRIS
    5.3. RM. ONDUNG

Buyut / Cicit

    1.1.1. RM.H. RANA MENGGALA (Lebakpasar, C-1877)
    1.1.2. RM.H. ABDULGHANI MENGGALA (Lebakpasar, C-1878)
    1.1.3. RM.H. MUHAMMAD HASYIR (AHMAD, C-1879)
    1.1.4. RAy.Hj. ITI (Gg Wahir-Empang, C-1880
    2.1.1. RM.H. WONGSOMENGGOLO (Ciomas)
    2.1.2. RM.H. SOEROMENGGOLO (Ciomas)
    2.1.3. RM.H. ADIMENGGOLO (Ciomas)
    2.1.4. RAy.Hj.UNAN (Loji)
    2.2.1. RM.H. IBRAHIM\RM. ABD.ROCHMAN WIRADIMENGGOLO\RM. WIRADINEGARA
    2.2.2. NYI RAy.Hj. ASMAYA
    2.2.3. NYI RAy.Hj. ENTING AISYAH
    2.2.4. NYI RAy.Hj. SITI FATIMAH
    2.2.5. NYI RAy.Hj. ANTAMIRAH
    2.2.6. RM. TJANDRANINGRAT\RM. ARIO MAD SURODHININGRAT
    2.2.7. RM. YAHYA GONDONINGRAT
    2.2.8. RM. INDRIS TIRTODIRDJO/RM. IDRUS TIRTODIRDJO
    2.2.9. NYI RAy.Hj. RAJAMIRAH/RAy.Hj. MIRAH
    2.3.1. RM.H. ARDJA

Saturday 1 March 2014

Mengerikan di Penjara Pangeran Diponegoro




Mengerikan di Penjara Pangeran Diponegoro

Inilah penjara Pangeran Diponegoro yang sangat pendek atapnya.

Catatan: Tulisan ini telah dibukukan dalam buku Jelajah Negeri Sendiri, penerbit Bentang Pustaka.

Penjara bawah tanah yang terdapat di Museum Fatahillah Jakarta merupakan salah satu saksi sejarah perjuangan Kanjeng Pangeran Diponegoro di Pulau Jawa, dalam upaya mengusir penjajahan Belanda dari bumi nusantara.

Di sinilah Pangeran Diponegoro menjadi tawanan perang selama 32 hari (11 April 1830 sampai 3 Mei 1830).

Dahulu Museum Fatahillah merupakan Gedung Balaikota (Stadhuis). Pembangunannya dimulai tahun 1707 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joanvan Hoon. Gedung ini selesai pembangunannya tahun 1712.

Saat saya mencoba memasuki penjara tersebut, bulu kuduk saya langsung berdiri. Saya ngeri membayangkan betapa sengsaranya para tahan yang mendekam di dalamnya. Ruang tahanan tersebut sangat sempit luasnya kira-kira 6×6 meter persegi.

Tinggi atapnya kurang dari 150 cm. Meskipun ada jeruji jendela, tetap saja terasa pengap. Dengan atap penjara sependek itu, otomatis saat berada dalam penjara, saya terpaksa berjalan dengan posisi badan membungkuk nyaris 110 derajat!

Baru lima menit berada di sini dalam keadaan membungkuk, pinggang dan punggung saya langsung pegal-pegal. Terpaksalah saya ganti posisi dengan berjongkok. Mungkin beginilah rasanya yang dialami Pangeran Diponegoro saat menjadi tawanan perang. Saya seakan bisa merasakan betapa letihnya Pangeran Diponegoro karena tidak bisa berdiri tegap.

Di lantai penjara terdapat bola-bola batu dengan beragam ukuran, ada yang kecil-kecil dan besar. Bola batu yang amat berat ini disambungkan pada rantai baja yang gunanya untuk mengikat kaki tahanan agar tidak dapat kabur dari penjara.


Ini bola batu yang sangat berat. Ada lubang di atasnya untuk merantai kaki tawanan.

Saya sebenarnya termasuk orang yang penakut. Sudah beberapa kali bolak-balik mengunjungi Museum Fatahillah, baru sekarang saya punya nyali masuk ke penjara bawah tanah tersebut.

Di sisi depan Museum Fatahillah, terdapat sebuah penjara lagi yang kondisinya tidak kalah mengerikan. Mengapa? Sebab penjara bawah tanah yang satu ini kondisinya selalu berair. Dahulu, jika airnya makin kotor makin bagus dengan maksud untuk memberikan efek jera bagi para tawanan. Konon jika tidak kuat maka lama kelamaan penghuni penjara berlantai air kotor dan bau ini akan tewas kedinginan dengan sendirinya.


Penjara bawah tanah yang lantainya sengaja dibiarkan berair.

Mengapa Pangeran Diponegoro diperlakukan sekejam itu oleh pemerintah kolonial Belanda? Pada masanya, Pangeran Diponegoro dianggap sebagai salah satu penjahat perang yang keberadaannya sangat ditakuti oleh tentara Belanda. Dibawah pimpinan Diponegoro, Belanda mengalami banyak kekalahan, 8000 tentara Belanda tewas dalam pertempuran. Oleh karena itu pemerintah Belanda mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Sebenarnya akibat perang tersebut, sekitar 200.000 orang Jawa juga gugur.

Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan Hamengkubuwono III Kesultanan Yogyakarta ini memiliki kemampuan strategi perang yang sangat modern, hampir mirip dengan strategi perang jaman sekarang. Oleh karena kemampuannya tersebut, seringkali dalam tempo tidak sampai satu hari, setiap wilayah di Pulau Jawa yang telah dikuasai Belanda, mampu direbut kembali oleh Diponegoro dan pasukan pendukungnya.

Jelaslah Diponegoro merupakan ancaman sangat serius bagi kelangsungan kolonisasi Belanda di Pulau Jawa.


Museum Fatahillah yang berlokasi di Kota Tua, Jakarta

Setelah dari Batavia (sekarang Jakarta), akhirnya Pangeran Diponegoro dipindahkan lagi ke Benteng Amsterdam di Manado selama tiga tahun lamanya.

Tahun 1834 Pangeran Diponegoro diasingkan pemerintah Kolonial Belanda ke Benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan dan wafat dalam pengasingan 8 Januari 1855 di usia 89 tahun.

Sampai saat ini, makam Kanjeng Pangeran Diponegoro yang terletak di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, Makassar-Sulawesi Selatan, selalu ramai dibanjiri pengunjung. (Puri Areta)