Monday 16 September 2013

PANGERAN DJONED DI BATAVIA (Tahun 1830-1832)

Setelah lolos dari proses pengasingan ke Pulau Sulawesi sesuai cerita sebelumnya, Pangeran Djonet muda yang baru berusia 15 tahun (1815-1830) dibantu pengikutnya  mencari tempat persembunyian sementara di daerah Batavia. Sebagai kelompok asing yang berkeliaran di Batavia yang notabene sebagai pusat kegiatan colonial pada masa itu tentunya baik Pangeran Djonet maupun pengikutnya yang asli Yogyakarta mencari sanak saudara, kerabat maupun tetangga yang sedaerah. Akhirnya dengan wawasan sejarah yang dimiliki sang Pangeran Muda diputuskan untuk mencari daerah Matraman (saat itu umur daerah Matraman sudah mencapai 208 tahun sejak penyerbuan Kerajaan Mataram ke Batavia).
Di Matraman, pengikut Pangeran Djonet terlebih dahulu mencari tokoh-tokoh setempat yang dianggap mengetahui asal-usul Matraman dan akhirnya memperkenalkan diri kepada mereka tentang keberadaan Pangeran Mataram (tidak menyebutkan nama/menggunakan nama alias) dan menceriterakan secara umum kondisi kejadian saat itu. Diluar perkiraan sang Pangeran, mereka menerima dengan amat terbuka sambil disertai perasaan haru, bangga dan rindu akan kampong halaman akhirnya berkat bantuan dan perlindungan masyarakat Matraman pada saat itu Pangeran Djonet beserta pengikutnya menetap di Batavia (Matraman) lebih kurang selama 2 tahun.
Selama menetap di Matraman dalam rangka mempertahankan diri dari kejaran tentara Belanda, Pangeran Djonet membentuk pasukan (semacam pengawal Raja) dengan merekrut pemuda-pemuda yang mayoritas keturunan prajurit Kerajaan Mataram walaupun ada juga dari etnis lain yang juga bergabung dengan suka rela (di komplek pemakaman Pangeran Djonet di Bogor dimakamkan juga komandan pasukan pengawal yang berasal dari Banten). Komunikasi keberadaan Pangeran Djonet di Batavia dengan pihak Keraton Yogyakarta (lebih kurang 19 orang Pangeran/turunan Sultan yang mendukung Pangeran Diponegoro) dilakukan melalui media kurir/mata-mata/telik sandi yang masing-masing bergerak menuju titik yang ditentukan (rendesvouz), dari Keratonlah Pangeran Djonet mendapatkan bantuan logistik yang diperlukan dalam membentuk pasukan pengawal.
Tahun 1832 Pangeran Djonet genap berusia 17 tahun, usia yang cukup dewasa bagi seorang keturunan Sultan untuk segera memulai hidup berumah tangga. Maka pada tahun 1832 Pangeran Djonet mempersunting Putri Bangsawan Tiongkok dari dinasti Tang yang bernama BUN NIOH kemudian berganti nama menjadi NYI MAS AYU FATMAH (tidak ada literature yang menyebutkan dimana proses pertemuannya). Kalau mengacu kepada usia Nabi Muhammad SAW menikah, usia tersebut masih terlalu muda, akan tetapi karena kondisi saat itu sedang dalam proses bersembunyi ataupun penyamaran (incognito) ditambah lagi kebiasan Raja-raja Kasultanan Yogyakarta anak lelaki tertua menikah pada saat usia menginjak dewasa. Setelah berumah tangga Pangeran Djonet pindah ke pinggiran Kota Bogor, akan tetapi komunikasi dengan masyarakat Matraman tetap terjalin dengan sangat baik, dan sering mengahdiri acara-acara keagamaan yang diadakan di Masjid Jami Mataram.
Berdirinya Masjid Jami Matraman memang tak lepas dari aktivitas bekas pasukan Sultan Agung Mataram yang menetap di Batavia. Nama wilayah Matraman pun disinyalir karena dahulunya merupakan tempat perkumpulan bekas pasukan Mataram. Untuk menjalankan aktivitas keagamaan bekas pasukan Mataram mendirikan sebuah Masjid di kawasan tersebut. Masjid yang didirikan pada tahun 1837 diberi nama Masjid Jami Mataram yang artinya Masjid yang digunakan para abdi dalem Keraton Mataram. Selain itu, pemberian nama tersebut dimaksudkan untuk menandakan bahwa masjid itu didirikan oleh para bekas pasukan Mataram. Keaslian Masjid Jami Matraman masih terlihat dari bagian depan gedung masjid yang belum pernah direnovasi. Pada jaman dahulu masjid itu merupakan masjid paling bagus di kawasan tersebut, dengan perpaduan gaya arsitektur masjid dari Timur Tengah dan India. Jika dilihat dari depan akan nampak bangunan seperti benteng dan pada dinding tembok mimbarnya dipenuhi dengan tulisan kaligrafi serta terlihat pula bentuk kubah bundar. Pada tahun 1837, masjid itu diresmikan oleh Pangeran Jonet (ahli waris Pangeran Diponegoro).

No comments:

Post a Comment