Sunday 15 March 2015

KELUARGA DIPONEGORO

I.       Isteri-isteri Pangeran Diponegoro
Dalam hal pernikahan, Pangeran Diponegoro menikah setidaknya dengan delapan wanita. Banyak buku yang menyebutkan jumlah isteri Pangeran Diponegoro ada tiga, empat atau tujuh. Penulis memahami penyebutan jumlah yang berbeda-beda tersebut. Ada banyak alasan atau penyebab yang memungkinkan kaburnya jumlah yang sebenarnya.
Pertama, penjajah yang pada saat itu sengaja mengaburkannya agar hubungan kekerabatan antara keturunan yang satu dengan yang lain terputus dengan harapan kecil kemungkinan mereka bersekutu.
Kedua, hubungan kekeluargaan Pangeran Diponegoro dengan istana sudah tidak harmonis sejak awal. Bahkan ketika Pangeran Diponegoro keluar dari puri Tegalrejo untuk melaksanakan perang dan mengangkat dirinya sebagai seorang Sultan di Dekso, dia dianggap sebagai orang yang melakukan makar baik oleh kerajaan Jogja maupun kerajaan Surakarta. Kerajaan Surakarta ikut tidak menyetujui pengangkatan itu karena Pangeran Diponegoro mengklaim tanah di wilayah Bagelen menjadi wilayah kekuasaannya. Hubungan yang tidak bagus itu menyebabkan kalangan istana memutuskan pula hubungan administrasi yang berkaitan dengan kekeluargaan.
Ketiga, memang merupakan strategi Pangeran Diponegoro untuk menyembunyikan identitas keluarganya agar tidak menjadi sasaran penjajah. Kehidupan Pangeran Diponegoro selepas dari puri Tegalrejo bagaikan daun yang tertiup angin, tidak pernah menetap di suatu lokasi berlama-lama. Hal ini mengakibatkan tidak mungkin selalu membawa serta anak-anak dan isteri-isterinya dalam medan perang. Cara yang paling baik adalah menitipkan isteri-isteri dan anak-anaknya kepada keluarga mertua atau dititipkan pada para sahabatnya atau meninggalkannya di masrkas prajurit. Ketika dalam penitipan itu tentunya ada semacam kekawatiran, sehingga mereka kadang harus berganti identitas.

Jumlah delapan isteri yang tertulis dibuku ini berdasarkan sumber buku-buku yang penulis baca di tambah dengan pengakuan keturunan Pangeran Diponegoro yang telah memiliki kekancingan silsilah dari Kerajaan Yogyakarta. Begitu juga jumlah putera beliau yang 22 orang berdasarkan literatur yang ada ditambah dengan silsilah yang ada di Tepas Darah Dalem Kraton Yogyakarta.

Dalam kehidupan Jawa pada jaman itu memiliki banyak isteri termasuk syarat untuk disebut sebagai lelaki sejati. Orang jawa memiliki kriteria tentang keberhasilan seorang laki-laki dengan beberapa hal yaitu : wisma (rumah), wanodya (wanita), curiga (keris), turangga(kuda) dan kukila (burung, yang dimaksud adalah perkutut).
Wisma atau rumah : seorang lelaki sangat tidak berdaya ketika dia tidak memiliki rumah tempat dia memberi naungan pada keluarga, tempat bercengkerama dengan anak dan isteri. Apa yang terjadi bila rahasia keluarganya dilihat oleh orang lain karena dia tidak memiliki tempat untuk menutup rahasia itu. Lalu apa bedanya dengan binatang , itulah salah satu ukuran keberhasilan. Sebagai seorang pewaris tunggal puri Tegalrejo, seharusnya Pangeran Diponegoro telah memiliki kriteria ini. Sebuah rumah besar dengan pekarangan yang luas akan sangat cukup untuk menaungi isteri-isteri dan anak-anaknya. Tetapi karena rumah tersebut telah dibakar habis oleh penjajah, maka terpaksa hidup berpindah-pindah dari hutan satu ke hutan lainnnya.
Wanodya atau wanita atau isteri. Laki-laki akan dikatakan berhasil bila dia memiliki isteri yang sempurna dalam banyak hal, dan ini mustahil karena setiap wanita mempunyai kelebihan dan kekurangan. Maka untuk menutupi kelemahan salah satu isterinya seorang laki-laki harus mempunyai isteri lain untuk menutupi kekurangan isteri yang lain atau untuk menyempurnakan yang sudah ada. Hal ini bisa juga kita artikan bahwa dengan banyak isteri maka seorang laki-laki akan memiliki banyak saudara, bisa juga memiliki banyak pengikut yang pada saat itu memang sangat diperlukan dalam peperangan. Bila dilihat asal-usul isteri-isteri Pangeran Diponegoro, hanya satu yang berasal dari kalangan istana, sedangkan yang lain adalah dari kalangan pesantren dan kalangan musuh penjajah. Hal ini menegaskan bahwa perkawinan Pangeran Diponegoro juga bertujuan untuk memperkuat barisan pengikut perjuangannya.
Curiga atau keris adalah lambang kesaktian. Seorang laki-laki harus bisa melindungi keluarganya dari marabahaya, sehingga keberadaan keris pusaka yang mempunyai tuah sakti sangat diperlukan .
Turangga atau kuda adalah lambang mobilitas laki-laki dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Mungkin kalau sekarang bisa disamakan dengan sepeda motor ataupun mobil. Dalam kehidupan sebagai seorang panglima perang, Pangeran Diponegoro memiliki dua ekor kuda yaitu Kyai Gentayu adalah kuda Hitam dengan warna putih diujung keempat kakinya sedangkan Kyai Wijaya Krisna adalah Kuda putih mulus. Kyai Gentayu diperoleh dari hadiah eyangnya ketika dia dikhitan, seekor kuda yang dibeli dari pedagang Cina pemasok keperluan istana. Sedangkan Kuda Wijaya Krisna adalah kuda persilangan Kuda Sumbawa dengan kuda Eropa yang didapatnya dari peternakan kuda di Madiun milik kerabat trah Raden Ronggo.
Kukilo atau burung adalah hiburan dikala seseorang sedang diliputi rasa lelah setelah melakukan aktifitas. Suara burung terutama   perkutut   dipercaya bisa  memberikan  rasa tenteram, sekaligus dipercaya sebagai radar bila akan datang sebuah bahaya.

Pernikahan Pangeran Diponegoro yang pertama terjadi ketika beliau masih di puri Tegalrejo yaitu pada tahun 1803 menikah dengan Raden Ayu Retno Madubrongto puteri kedua Kyai Gedhe Dadapan di Tempel Sleman dekat perbatasan Kedu dengan Jogjakarta. Kyai Gede Dadapan adalah seorang kepala wilayah di Pathok Nagari  (Batas Wilayah), sekaligus sebagai pengikut setia keluarga Sultan. Sebelumnya dia juga pernah menjadi salah satu pengasuh Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Dia sering berkunjung dan menginap di lingkungan Puri Tegalrejo untuk menjalankan tugasnya mengantar kebutuhan Ratu Ageng. Pada saat itulah dia sering ikut mengasuh Pangeran Diponegoro kecil yang masih bernama Ontowiryo. Dia juga yang sering membacakan kitab-kitab keagamaan untuk Ontowiryo. Setelah Ontowiryo menjadi santri di Mlangi di wilayahnya, dia juga yang bertugas mengurus segala kebutuhan selama mondok sebagai santri.
Kedekatan hubungan inilah yang akhirnya mengantar puterinya menjadi wanita pilihan Raden Mas Ontowiryo untuk menjadi pendamping hidup. Raden Ayu Retno Madubrongto adalah seorang wanita yang solehah dan sangat memahami jalan pikiran dan jalan hidup suaminya. Dia tidak pernah mengeluh walaupun sering ditinggalkan suaminya berkelana, bertapa untuk mencari makna sejati kehidupan. Bahkan diapun tidak pernah bertanya mengapa bukan dirinya yang diangkat sebagai isteri permaisuri oleh suaminya. Dari pernikahan ini lahirlah dua orang keturunan Pangeran Diponegoro yaitu  Raden Mas Ontowiryo II dan Raden Mas Dipoatmojo. Raden Ayu Retno Madubrongto wafat sebelum penyerbuan Belanda ke Tegalrejo. Tahun pastinya tidak diketahui tetapi beliau wafat sekitar tahun 1814.

Tanggal 25 Pebruari 1807 menikah untuk kedua kalinya dengan Raden Ajeng Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri  Raden Tumenggung  Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang. Pernikahan ini atas kehendak Sri Sultan Hamengkubuwono III . Dari pernikahan ini lahir Raden Suryoatmojo dan Raden Ayu Joyokusumo. Pada saat Pangeran Diponegoro memutuskan untuk tidak mau lagi menjadi wali bagi Sri Sultan ke V dan kembali ke Puri Tegalrejo, Retnokusumo memilih tinggal di istana karena sudah terlanjur menikmati kehidupan gaya istana sejak sebelum menjadi isteri Pangeran Diponegoro.

Tahun 1808  menikah yang ketiga dengan R.A. Retnodewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta dan mempunyai dua orang puteri yang diberi nama Raden Ajeng Impun yang kelak dikenal dengan nama Raden Ayu Basah dan Raden Ayu Muntengatau Raden Ayu Gusti. Pernikahan ini terjadi setelah Pangeran Diponegoro bertapa di Pantai Selatan dan merasa bertemu dengan Nyai Roro Kidul penguasa pantai selatan. Maka kemudian isterinya diberi nama Retnodewati yang menurut mitos menjadi nama lain Nyai Roro Kidul sebelum dia menjadi penguasa laut Selatan. R.A Retnodewati meninggal hampir bersamaan dengan R.A Retno Madubrongto.

Dua tahun kemudian di awal tahun 1810 Pangeran Diponegoro melakukan perjalanan ke wilayah timur dan menikah untuk yang keempat dengan Raden Ayu Citrowati, puteri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko dengan salah satu isteri selir.  Tidak lama setelah melahirkan anaknya Raden Ayu Citrowati meninggal dalam kerusuhan di Madiun. Bayi yang baru saja dilahirkan kemudian dibawa oleh Ki Tembi seorang sahabat Pangeran Diponegoro. Oleh Pangeran Diponegoro bayi tersebut diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh. Dan diberi nama singlon yang artinya adalah nama samaran sehingga bayi tersebut terkenal dengan nama Raden Mas Singlon.

Setelah geger Madiun reda di tahun 1814 untuk yang ke lima kalinya Pangeran Diponegoro menikah dengan R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi R.A Maduretno saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Tahun 1826 ketika Pangeran Diponegoro diangkat menjadi Sultan di Dekso, R.A Maduretno diangkat menjadi permaisuri. Namun karena sakit beliau meninggal pada tahun 1828. Dari pernikahan ini lahirlah Raden Mas Joned pada tahun 1815 Dan Raden Mas Roub tahun 1816 . Raden Ayu Maduretno juga dikenal dengan Raden Ayu Ontowiryo atau Raden Ayu Diponegoro. Ketika menikah dengan R. A Maduretno, isteri pertama dan keempat sudah meninggal, sedangkan isteri kedua lebih senang tinggal diistana sehingga terjadilah hubungan yang tidak harmonis antara P. Diponegoro dengan RA. Retnokusumo.
Hubungan Pangeran Diponegoro dengan keluarga besar Raden Ronggo semakin ditingkatkan untuk menambah kekuatan dan kedudukan kasultanan Jogja di mata penjajah.

Maka pada tahun 1822 beliau menikah yang keenam dengan R.A. Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang Kepadhangan. Kelak R.A Retnaningsih inilah yang mengikuti Pangeran Diponegoro dalam pengasingan. Dari Raden Ayu Ratnaningsih ini lahirlah beberapa putera yaitu : Raden Mas Kindar (1832), Raden Mas Sarkuma (1834), Raden Mas Mutawaridin (1835), Raden Ayu Putri Munadima (1836), Raden Mas Dulkabli (1836), Raden Mas Rajab (1837) dan Raden Mas Ramaji (1838).

Pada tahun 1825 ketika perang dimulai Pangeran Diponegoro menikah untuk yang ke tujuh dengan R.A. Retnakumala, putri Kyahi Guru Kasongan. Pernikahan ini jelas semakin memperkuat dukungan kalangan kyai dan santri kepada perjuangan beliau melawan penjajah. Dari pernikahan ini lahir tiga orang puteri yaitu Raden Ayu Herjuminten, Raden Ayu Herjumerut dan Raden Ayu Hangreni. Selain pangeran Diponegoro pernah menjadi santri di pondok pesantren di Kasongan, Kyai guru Kasongan inilah yang menjadi pelindung dan penjamin suplai kebutuhan pokok pangeran ketika ada di Gua Selarong.

Tahun 1828 setelah Raden Ayu Maduretno meninggal, Pangeran Diponegoro menikahi R.A. Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II dan mempunyai  tiga  puteri  yaitu  Raden Ayu Mangkukusumo,   Raden Ayu Padmodipuro dan Raden Ayu Poncokusumo. Pernikahan ini adalah permintaan R.A Maduretno ketika beliau dalam keadaan sakit keras dan akhirnya meninggal.

            Raden Ayu Retnaningrum sempat ikut Pangeran Diponegoro dalam perjalanan dari Magelang, Ungaran dan sampai ke Semarang. Namun karena sakit atas kehendak Pangeran Diponegoro, dia diminta kembali ke Yogyakarta pada tgl. 5 April 1830.

Bila melihat tahun pernikahan dan asal usul para isteri-isteri Pangeran Diponegoro penulis menilai bahwa hal ini mendekati kebenaran. Pernikahan pertama sampai ketiga terjadi ketika beliau masih di puri Tegalrejo dan berada di pesantren-pesantren sekitar kota kerajaan. Pernikahan ke empat dan ke lima terjadi ketika Madiun bergejolak dan pada saat itu Pangeran Diponegoro sedang intens menjalin hubungan kemitraan dengan saudara-saudaranya trah Raden Ronggo penguasa wilayah Madiun. Perkawinan ke 7 dan 8 menikah dengan kalangan kyai di sekitar tempat perjuangan.
Tidak banyak diketahui kiprah para isteri ini dalam perang Diponegoro kecuali R.A Ratnaningsih yang juga merupakan salah satu prajurit perang sebagai pemimpin pasukan pemanah wanita yang disebut dengan pasukan Srikandi.
Karena kehidupan Pangeran Diponegoro yang berpindah-pindah baik ketika menuntut ilmu maupun dalam perjuangan yang membutuhkan banyak pengikut maka tidak menutup kemungkinan masih ada isteri-isteri beliau yang tidak tercatat dalam sejarah selama ini. Dalam buku The Power of Prophecy tulisan Peter Carey hanya dituliskan sebanyak 7 orang isteri beliau. Buku tersebut labih banyak bersumber dari Buku sejarah tulisan Pangeran Diponegoro ”Babad Diponegoro”. Dalam babad tersebut Pangeran Diponegoro mengisahkan kehidupannya bersama keluarga. Ada yang namanya disebut hanya sekali, ada juga yang namanya disebut berkali-kali.

Sampai akhirnya Pangeran Diponegoro ditawan dan dibuang ke pengasingan tercatat masih memiliki empat isteri yaitu RA. Retnadewati, R.A Ratnaningsih, R.A Retnokumolo dan R.A Retnaningrum. Hanya R.A Ratnaningsih yang akhirnya mengikuti Pangeran Diponegoro dalam pembuangan. Keikut sertaan R.A Ratnaningsih ini sekaligus menepis anggapan yang selama ini dipercayai oleh beberapa orang bahawa yang dibuang ke Manado lalu ke Makassar hanyalah orang yang mirip dengan Pangeran Diponegoro. Bagaimana mungkin orang yang hanya mirip dengan Pangeran Diponegoro bisa hidup dalam satu rumah dengan R.A Ratnaningsih dan memiliki keturunan ? Menurut analisa penulis tidak mungkin. Cerita-cerita mistis yang berhubungan dengan Pangeran Diponegoro adalah sekedar gambaran betapa kagumnya masyarakat kepada perjuangan beliau.

II. Putera-puteri penerus generasi
Peter Carey dalam bukunya The power of prophecy menulis ada beberapa nama anak Pangeran Diponegoro yang tidak diketahui ibunya, tetapi bila dilihat tahun kelahirannya ( setelah 1832) jelas bahwa mereka adalah anak-anak dari ibu Ratnaningsih. Karena sejak Pangeran Diponegoro hidup dalam pembuangan hanya Ibu Ratnaningsih yang ada di sampingnya sebagai isteri. Peter Carey juga menyebutkan satu nama anak Pangeran Diponegoro yang tidak diketahui siapa ibunya yaitu Raden Mas Alip. Peter Carey hanya menyebutkan bahwa Raden Mas Alip berada di sekitar Selarong.  Kalau hal ini benar, maka Raden Mas Alip adalah Raden Mas Singlon yang sejak masih bayi sepeninggalan ibunya di asuh oleh Ki Tembi yang tinggal di arah sebelah timur Goa Selarong yang sekarang bernama dusun Tembi.

Banyak juga di antara generasi muda bahkan keturunan Pangeran Diponegoro yang tidak mengetahui nama-nama putera-puteri Pangeran Diponegoro secara pasti. Biasanya mereka hanya memegang satu nama walaupun sebenarnya ada nama alias. Mereka juga tidak mengetahui siapa nama ibu dari putera Pangeran Diponegoro yang menurunkan mereka. Untuk itulah mudah-mudahan dengan penelusuran yang teliti dari berbagai buku, sejarah sesepuh, analisa waktu dan tempat penulis mencoba menyajikannya dengan jelas.

1.1.      Raden Mas Muhammad Ngarip/Raden Antawirya II /Diponegoro Anom /Diponegoro II/Kanjeng Pangeran Haryo Diponegoro II  /Pangeran Abdul Majid.
Lahir pada tahun 1803. Dilihat dari tahun kelahirannya maka dapat dipastikan sebagai anak dari ibu Raden Ayu Madubrongto.  Ketika perang Diponegoro dimulai dia telah berusia 22 tahun dan selalu setia menjadi pembela ayahnya. Sebagai putera tertua dan memiliki kesamaan pandangan dengan ayahnya maka dia dengan ikhlas mengangkat senjata mendampingi ayahnya.
Nama bayinya adalah Raden Mas Muhammad Ngarip, dan kelak nama itu dia gunakan lagi ketika berada di wilayah sumenep dengan sedikit perubahan yaitu Raden Mas Mantri Muhammad Ngarip. Nama ini dia gunakan selama dalam pembuangan di Sumenep Madura. Dialah yang menulis buku Babad Diponegoro Suryongalam.
Ketika menginjak dewasa dan ayahnya telah menggunakan nama Diponegoro, dia mendapatkan gelar nama yang sama yaitu Ontowiryo II dan selanjutnya menggunakan nama Diponegoro II atau Diponegoro Anom ketika ayahnya diangkat oleh rakyat menjadi Sultan Abdul Hamid. Nama tersebut diberikan sendiri oleh Pangeran Diponegoro sebagai tanda bahwa putera kesangannya inilah kelak yang akan melanjutkan cita-citanya. Memang dia hanya dari isteri samping, tetapi keindahan budi pekerti ibunya membuat Pangeran Diponegoro sangat menyayangi anak sulungnya ini.
Melihat usianya yang sudah mencapai 22 tahun pada saat perang Diponegoro dimulai, maka dapat dipastikan bahwa pada saat itu beliau sudah memiliki isteri dan memiliki beberapa anak. Kelak keturunan beliau yang lahir dan besar di tanah Jawa inilah yang akan menjadi generasi penerusnya sebagai pengganggu ketenteraman penjajah.
Sejak awal peperangan, Diponegoro Anom diserahi untuk menjaga dan melawan penjajah di wilayah Bagelen ke Barat bersama beberapa orang pilihan Pangeran Diponegoro di antaranya Tumenggung Danupoyo. Taktik perang yang digunakan sama dengan ayahnya yaitu bergerilya dan berpindah-pindah. Area perjuangan Pangeran Diponegoro Anom ini mencapai wilayah Barat Banyumas, Temanggung dan Parakan. Di medan perang Diponegoro Anom ini sering bekerja sama dengan Pamannya Sentot Prawirodirjo dan adik tirinya Raden Mas Singlon atau Raden Mas Sodewo. Setelah menjalani pembuangan di Sumenep tahun 1834 lalu dibuang ke Ambon 1853.
Sebenarnya Pangeran Diponegoro berharap agar ibu dan anak-anaknya bisa bergabung dengannya di pembuangan, tetapi hal itu secara halus ditolak oleh Belanda dan sebagai gantinya Van den Bosch menijinkan anak-anaknya kembali ke Tegalrejo. Bahkan anak Pangeran Dipokusumo dan Pangeran Diponingrat diijinkan tinggal di dalam kraton. Selanjutnya Belanda melalui Kapten Roeps juga memenuhi permintaan Pangeran Diponegoro untuk membagikan pusaka warisan pada anak-anaknya yang terdiri dari keris dan tombak.

2.  R.M Dipoatmaja /R.M Dipokusumo /Pangeran Abdul Aziz (181 5)
                Adalah putera ke dua Pangeran Diponegoro yang lahir dari ibu Retno Madubrongto. Dia  sudah cukup dewasa ketika perang dimulai, sehingga tidak menutup kemungkinan, dia meninggalkan anak dan isteri ketika menjalani pembuangan di Ambon. Semasa perang, RM. Dipoatmojo banyak bergerak di wilayah Pacitan dan Madiun.
Peperangan dipimpin oleh Bupati Mas Tumenggung Joyokariyo, Mas Tumenggung Jimat dan Ahmad Aris, akan tetapi akhir Agustus 1825 daerah Pacitan berhasil dikuasai Belanda. Bupati Joyokariyo di pecat, sedang Tumenggung Jimat dan Ahmad Aris ditangkap yang nasibnya tidak diketahui. Sebagai bupati baru, diangkatlah oleh Belanda Mas Tumenggung Somodiwiryo, akan tetapi tidak lama bertahta sebab 9 Oktober 1825 diserbu oleh pasukan Madiun yang dipimpin oleh Raden Mas Dipoatmojo dan berhasil membunuh bupati baru tersebut. Namun akhirnya awal Desember 1825 seluruh pasukan Madiun di Pacitan berhasil dipecah belah oleh Belanda, hingga Pacitan sepenuhnya di kuasai Belanda.
                Pada akhir perang Diponegoro, Raden Mas Dipoatmojo berada di Surakarta bersama keluarga kakek buyutnya dari garis ibu setelah pada tanggal 8 Januari 1830 tertangkap oleh pasukan Belanda lalu dibuang ke Ambon 1840.

1.3.      Raden Suryaatmaja / Diponingrat/ Pangeran Adipati Anom/Raden Mas Sudiro Kromo/Kanjeng Pangeran Adipati Diponegoro (1807).
             Dilihat dari gelar yang digunakan yaitu Pangeran Adipati Anom bisa dipastikan bahwa dia adalah anak dari ibu Raden Ayu Retnokusumo yang sebelumnya bernama Raden Ajeng Supadmi (Diperkuat dengan adanya catatan dari Peter F Carey dam The Power Of Prophecy) . Pangeran Diponegoro menikah untuk yang kedua kalinya atas perintah dari ayahnya. Perintah ini secara langsung mempunyai arti bahwa Raden Ayu Retnokusumo adalah isteri utama atau isteri permaisuri yang direstui oleh kerajaan. Kemudian Raden Ayu Retnokusumolah yang mendampingi Pangeran Diponegoro dalam menghadiri acara-acara resmi di kerajaan.
             Ketika mengikuti jejak ayahnya di medan perang Suryaatmaja diangkat menjadi putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom. Namun karena Belanda tidak mengakui keabsahan gelar Sultan yang disandang Pangeran Diponegoro maka nama itu dirubah oleh penjajah dengan nama Diponingrat. Menjalani pembuangan ke Ambon 1840.
             Dalam   catatan  sejarah, Pangeran   Adipati  Anom  Diponingrat   pernah    menikah dengan anak perempuan Raden Tumenggung Mertawijaya atau Raden Tumenggung Danukusumo II salah seorang senopati Pangeran Diponegoro di wilayah Remo Banyumas. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Danukusumo II adalah dari trah Danurejan yang ikut bergabung dalam barisan perjuangan Pangeran Diponegoro.

4. Pangeran Alip / R.M.Singlon/ R.M Sodewo / Ki  Sodewo/Demang Notodirjo.
             Awal tahun 1810 Pangeran Diponegoro melakukan perjalanan ke wilayah Madiun atas pesan almarhum nenek buyutnya yaitu Ratu Ageng untuk selalu menjalin hubungan tali silaturahim. Di sanalah Pangeran Diponegoro menikah dengan Raden Ayu Citrowati. Belum sempat diperkenalkan dengan keluarga di Jogja, Raden Ayu Citrowati meninggal dalam kerusuhan di Madiun setelah dia melahirkan putera Pangeran Diponegoro. Bayi tersebut kemudian dibawa oleh sahabat Pangeran Diponegoro yang bernama Tembi menyusul ke tempat Pangeran Diponegoro bertapa di gua Cerme sekitar Bantul. Menurut Ki Tembi bayi tersebut telah diberi nama Alip.
             Pada saat itu tidak mungkin Pangeran Diponegoro membawa bayi tersebut pulang ke Tegalrejo karena tidak ada pengasuh di sana karena isteri tertuanya juga tengah mengasuh bayi, begitu juga dengan isteri ketiganya. Sedangakn isteri keduanya yang dari trah ningrat memiliki tabiat yang kurang berkenan di hati Pengeran Diponegoro dan lebih banyak tinggal di istana. Atas permintaan Pangeran Diponegoro anak tersebut dititipkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan dibesarkan. Agar tidak diketahui oleh siapa-siapa Ki Tembi disuruh memberi nama singlon .
             Singlon artinya samaran atau sembunyi (hiden). Bayi yang baru beberapa minggu lahir dan ditinggal mati oleh ibunya  ini perlu disembuyikan karena Pangeran Diponegoro mempunyai firasat bahwa anak tersebut kelak akan menjadi musuh besar Belanda, maka perlu disembuyikan. Perintah kepada Ki Tembi adalah : ”Jenengono singlon ben ora konangan Londo (berilah nama samaran agar tidak ketahuan Belanda)” sehingga dia disebut Raden Mas Singlon. Jadi nama Singlon sendiri sebenarnya bukan nama resmi, tetapi nama panggilan. Bisa jadi ini karena kesalahpahaman Ki Tembi ketika diberi perintah oleh Pangeran Diponegoro agar memberi nama singlon yang maksudnya adalah nama samaran tetapi singlon malah dijadikan nama panggilan sehingga jadilah nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon. Sebutan Sodewo diberikan oleh Pangeran Diponegoro karena Raden Mas Singlon berperang laksono dewo atau bagaikan dewa. Jadi Sodewo adalah singkatan dari kata laksono dewo. Gelar Raden Mas ditanggalkan oleh Ki Sodewo dalam penyamaran dan lebih banyak dipanggil Ki (panggilan untuk laki-laki yang dihormati), agar gerak-geriknya tidak diawasi oleh Belanda.
             Di wilayah Banyumas nama R.M Singlon atau Ki Sodewo juga tidak dikenal masyarakat, tetapi di sana lebih dikenal dengan sebutan Notodirjo. Nama Notodirjo pernah dipakai oleh Raden Abdul Kamil Alibasah yaitu kakak Sentot Prawirodirjo. Raden Abdul Kamil Alibasah atau Tumenggung Notodirjo adalah suami pertama Raden Ayu Impun puteri Pangeran Diponegoro. Setelah Raden Basah Abdul Kamil gugur dalam pertempuran, Raden Ayu Basah dinikahi oleh Tumenggung Mertonegoro yang kemudian bergelar Raden Basah Abdul Kamil II dan biasa disebut dengan Basah Mertonegoro, sehingga nama puteri Pangeran Diponegoro ini sering dikenal dengan nama Raden Ayu Basah Mertonegoro. Nama Notodirjo sendiri lalu digunakan oleh R.M Singlon sekaligus menggantikan Notodirjo sebelumnya dalam peperangan.
             Raden Mas Singlon meninggal dalam peperangan  sekitar tahun 1860, setelah dijebak oleh saudara seperguruannya Ki Wrekso Sosrobahu. Kepala Ki Sodewo di penggal dan dibawa ke sebuah bukit di Kaliagung sedangkan tubuhnya di hanyutkan di sungai Serang. Sehari kemudian tubuhnya di temukan oleh seorang pedagang dan di makamkan di sebelah barat pasar Wates. Kini kepala dan jasad tubuh Ki Sodewo telah disatukan dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum di Sideman, Wates Kulon Progo. Tubuhnya menyatu dalam kedamaian dengan bumi yang dibelanya sampai mati. Tubuhnya menyatu dengan bumi menoreh, sebuah tempat di mana ayahnya pernah dilantik sebagai seorang sultan oleh pengikutnya. Tubuhnya larut dan di  bumi para pahlawan di Bumi Menoreh, Kulon Progo.

5.    R.M. Joned / R.M Juned /Pangeran Jemet (1815),
                Ketika ayahnya menyatakan diri sebagai penentang penjajah dan terusir dari Puri Tegalrejo, Raden Mas Joned baru berumur sepuluh tahun. Dia ikut rombongan pengungsi bersama keluarga besarnya ke Goa Selarong setelah Puri Tegalrejo digempur oleh pasukan Belanda. Dia sudah bisa merasakan bagaimana susahnya hidup dalam pengungsian dan hanya tinggal di dalam Goa bersama ibu dan saudara-saudaranya.
                Usianya masih terhitung anak-anak ketika dia lari mengikuti rombongan para penghuni Puri Tegalrejo dan para penghuni kampung sekitar puri. Terkadang sebuah tangan kokoh menyambarnya dan meletakkannya dalam gendongan sambil berlari mendorong gerobak dimana ibu dan bibinya menumpang menyatu dengan perbekalan seadanya. Orang itu tak lain adalah Sentot Prawiro Dirjo pamannya sendiri.
                Umur Raden Mas Joned sekitar 15 tahun ketika melihat ayahnya ditangkap oleh Belanda. Dia menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya tetap tegar menghadapi semuanya. Raden Mas Joned tidak kuasa menitikkan air mata ketika melihat ayahnya digiring dimasukkan ke dalam kereta yang membawanya ke pengasingan.
                Marah dan dendam, itulah yang ada di dalam benak Raden Mas Joned. Jiwa mudanya sangat terguncang dan itulah yang membuat Raden Mas Joned selalu melakukan perlawanan dimanapun dia melihat orang Belanda. Raden Mas Joned berusaha membebaskan ayahnya dengan cara mengejar ke Ungaran, lalu ke Semarang. Dia berhasil menyusup ke dalam kapal pembawa Pangeran Diponegoro tetapi ketahuan dan Raden Mas Joned menceburkan diri ke laut. Dia tidak putus asa karenanya. Raden Mas joned lalu mengejar Pangeran Diponegoro melalui darat bersama beberapa orang pengikutnya menuju Batavia. Sesampainya di Batavia, Pangeran Joned berusaha mendekati tempat penyekapan Pangeran Diponegoro, tetapi sayang, mata-mata mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro telah dipindahkan menggunakan kapal ke arah Timur. Dengan perbekalan seadanya disertai dengan pengikut-pengikut setianya, Raden Mas Joned berangkat ke arah Timur melewati jalan darat sambil menebarkan petaka bagi siapapun yang mencoba menghalanginya. Tahun 1837 Raden Mas Joned terbunuh dalam sebuah kerusuhan yang dibuatnya di Jogja. Atas kehendak keluarga, jenasah beliau disembunyikan dan dimakamkan di Bogor.
                Ibu Raden Mas Joned yaitu Raden Ayu Maduretno adalah kakak Sentot Prawirodirjo yang ikut bergabung dalam barisan Pangeran Diponegoro.  Ketika Pangeran Diponegoro diangkat menjadi sultan di Dekso, Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri. Pada tahun 1828 beliau wafat karena sakit dan dimakamkan di Imogiri.

1.Raden Mas Roub/Raib/Raab/Pangeran Hasan 1816
             Adalah adik kandung Raden Mas Joned. Usianya sekitar sembilan tahun ketika mengikuti ayahnya dalam medan perang. Bersama kakaknya dia ikut merasakan bagaimana kehidupan dalam pengungsian.
             Raden Mas Roub selalu mengikuti perjalanan ayahnya dalam medan perang. Selain karena putera dari isteri permaisuri kedua, Pangeran Diponegoro menyiapkan Raden Mas Roub agar kelak sebagai seorang pemimpin agama .
             Sampai di sini dapat dijelaskan bahwa ada 4 (empat) putera Pangeran Diponegoro yang dibuang ke Ambon. Pada buku The Power of Prophecy tulisan Peter F Carey halaman 746 dijelaskan bahwa pada akhir tahun 1848 Pangeran Diponegoro menanyakan kepada gubernur jenderal di Makassar perihal tiga anaknya yaitu Pangeran Dipokusumo, Raden Mas Raib serta Pangeran Diponingrat yang diberitakan mengalami sakit tekanan jiwa. Pangeran Diponegoro juga menanyakan anaknya yang tertua yang mengalami pembuangan di Sumenep pada tahun 1834 setelah memberontak di Kedu, dan belum pernah berkirim kabar.

1.7.      R.A Impun/R.A. Basah Mertonegoro
                Raden Ayu Impun adalah puteri Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Retnodewati. Ketika perang Diponegoro mulai pecah, Raden Ayu Impun dinikahkan dengan kakak Sentot Prawiro Dirjo yang bernama Raden Abdul Kamil Alibasyah yang juga merupakan pejuang Pangeran Diponegoro yang bertugas bergerilya di wilayah Barat Sungai Progo. Raden Abdul Kamil Alibasyah kemudian diberikan gelar Notodirjo dan diberikan kedudukan setingkat tumenggung dan biasa dipanggil raden Basah.
                Setelah Raden Abdul Kamil tewas dalam peperangan, kemudian dinikahi oleh Tumenggung Mertonegoro atau Jayapermadi anak laki-laki tertua Patih Danurejo II sehingga terkenal dengan nama Raden Ayu Basah Mertonegoro.

8. R.A. Joyokusumo
                Nama sebenarnya tidak diketahui dan tidak pernah tersurat dalam Babad Diponegoro. R.M.Joyokusumo adalah anak Raden Ngabehi Joyokusumo, paman Pangeran Diponegoro. Raden Ngabehi Joyokusumo adalah salah satu pengatur strategi perang. Baik Raden Ngabehi Joyokusumo maupun Raden Mas Joyokusumo tewas di tangan Belanda pada pertempuran di tepi sungai Bogowonto di dusun Sengir.
                Atas permintaan Pangeran Diponegoro melalui surat yang ditulis bulan Mei 1830 di Batavia, R.A Joyokusumo dinikahkan dengan Basah Gondokusumo, adik Basah Mertonegoro. Surat tersebut ditujukan kepada Diponegoro Anom. Dalam surat tersebut Pangeran Diponegoro menyarankan apabila ada masalah agar mengadu pada Kapten Johan Jacob Roeps. Dalam surat tersebut Pangeran Diponegoro menuliskan bahwa dia menaruh kepercayaan besar pada kapten Roeps berkaitan dengan nasib anak-anaknya.

9.   R.A Munteng/R.A Gusti/RA. Siti Fadilah/Nyai Musa dan menikah juga dengan Basyah Mertonegoro.
                Dalam sebuah penyergapan Belanda di Kreteg daerah Kedu Utara Ibu Pangeran Diponegoro tertangkap bersama RA. Gusti. Mereka terpisah dari rombongan ketika perang di Bagelen. Kedunya lalu diserahkan ke Kasultanan Yogyakarta dan menjalani kehidupan di kraton. Dalam perjalanan terpisah dari rombongan itu mereka mendapat bantuan dari Kyai Setrodrono ayah Kyai Musa seorang ulama di wilayah Merden yang masih keturunan dari keluarga besar Danurejan.Raden Ayu Muntheng juga dinikahioleh Basyah Mertonegoro dan menurunkan beberapa anak.

10.  R.A Herjuminten (saudara kandung no. 12)
11.  R.A Herjumerot (saudara kandung no. 12)

12.  R.A Hangreni  Mangunjaya.
Untuk menghindari lahirnya pemberontak-pemberontak baru keturunan Pangeran Diponegoro, pihak keraton menikahkan puteri-puteri Pangeran Diponegoro dengan pejabat-pejabat yang netral atau dengan pejabat yang pro Belanda. Untuk itu mereka dinikahkan dengan pejabat-pejabat di wilayah kekuasaan trah Danurejan yaitu di tanah kedu dan Bagelen. Trah Danurejan adalah trah yang terbukti setia kepada Belanda walaupun ada juga beberapa yang justru menjadi tulang punggung perjuangan Pangeran Diponegoro.
Radeng Ngabehi Mangunjaya suami R.A Hangreni adalah seorang wedono di wilayah Bagelen Barat  yang dikuasai oleh Bupati Cokronegoro. Strategi Belanda dan kraton seolah berhasil dengan cara ini, tetapi kelak generasi-generasi penerus R.A Hangreni berjuang melawan penjajah melalui perjuangan agama setelah era perang Diponegoro berakhir.

13.  R.M Kindar/Pangeran Abdurrahman (1832),
14.  R.M Sarkuma (1834), meninggal 1849
15.  R.M Mutawaridin/Pangeran Abdurrahim (1835),
16.  R.A Putri Munadima/R.A Setiokusumo (1836),
17.  R.M Dulkabli/Pangeran Abdulgani (1836),
18.  R.M Rajab/Abdulrajab/Pangeran Abdulrajak setelah 1836
19.  R.M Ramaji/Pangeran Abdulgafur. Setelah 1836

Dalam pembuangan ke Manado lalu ke Makassar, Pangeran Diponegoro disertai dengan seorang isterinya yaitu R.A Ratnaningsih. Dalam catatan penumpang kapal Pollux jelas sekali tidak ada satupun anak Pangeran Diponegoro yang ikut, begitu juga dengan isteri-isteri yang lain. Hal ini jelas menggambarkan bahwa anak-anak P. Diponegoro tidak ada yang ada di Makasar kecuali yang lahir di Manado atau Makassar.
Dapat disimpulkan juga bahwa putera-puteri Pangeran Diponegoro nomer 13 sampai 19 yang dilahirkan setelah dalam pembuangan di Manado dan Makassar adalah lahir dari ibu Ratnaningsih, yang jumlahnya ada 7 orang. Informasi mengenai putera-puteri Pangeran Diponegoro dari ibu Ratnaningsih ini sangat jelas tertulis dalam buku The Power of Prophecy tulisan Peter F Carey.
Dalam buku tersebut juga dijelaskan bahwa R.M Sarkuma meninggal pada 1849. Dikaitkan dengan jumlah makam anak-anak Pangeran Diponegoro yang berada di bawah makam Pangeran Diponegoro dan Ibu Ratnaningsih, hal ini menjadi jelas. R.M Sarkuma meninggal terlebih dahulu sehingga makamnya tidak berdekatan, sedangkan yang makamnya berdekatan dengan makam Pangeran Diponegoro meninggal setelah Pangeran Diponegoro wafat. Makam R.M Sarkuma ada di komplek makam di pemakaman Keluarga tetapi posisinya terpisah agak jauh.

20.  R.A Mangkukusumo (tercatat di Tepas Darah Dalem)
21.  R.A Padmodipuro (tercatat di Tepas Darah Dalem)
22.  R.A Poncokusumo (tercatat di Tepas Darah Dalem)

            Dalam catatan di Tepas Darah Dalem Kraton Ngayogjokarto (Bagian Administrasi Keturunan di Kraton Jogjakarta) tercatat ada dua anak Pangeran Diponegoro yang menggunakan nama Diponegoro yaitu P.Haryo Diponegoro Maksudnya KPA Diponegoro II (P. Abdul Majid) dan Pangeran Diponegoro Ing Makasar yang mungkin maksudnya adalah di pembuangan. Dalam buku The Power of Prophecy, Peter Carey hanya menyebutkan satu orang anak Pangeran Diponegoro yang menggunakan nama ayahnya yaitu Diponegoro II yang kemudian dibuang ke Sumenep dengan menggunakan nama Raden Mantri Muhammad Ngarip kemudian dipindahkan ke Ambon. Sedangkan satu lagi anak yang lain menggunakan nama Pangeran Adipati Diponegoro (KPA Diponegoro = Kanjeng Pangeran Adipati Diponegoro Tanpa Romawi II)
            Belanda pura-pura menerima dan menghormati gelar Sultan yang disandang Pangeran Diponegoro selama di pembuangan di Manado maupun di Makassar. Sehingga kepada keturunan-keturunan pewaris tertinggi diperbolehkan meneruskan penggunakan Gelar Pangeran tetapi tidak diperbolehkan meneruskan gelar kasultanan yang telah dipakai Pangeran Diponegoro yaitu Sultan Abdulhamid. Tetapi dalam kenyataannya gelar sultan yang disandang oleh Pangeran Diponegoro tidak diterima baik oleh Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta. Karena memang pada kenyataannya Kasultanan yang dibangun oleh Pengikut Diponegoro tidak selesai, terbukti struktur kepemerintahan tidak ada, yang ada adalah struktur perjuangan melawan penjajah.
Jadi untuk penggunaan nama anak-anak Pangeran Diponegoro kita menggunakan saja nama terakhir ataupun nama besar ataupun nama tua yang digunakan. Adapun nama-nama kecil ataupun alias kita gunakan sebagai pengetahuan dan tidak perlu menjadi bahan perdebatan. Hal yang sama juga masalah tahun kejadian yang banyak kesimpangsiuran antara sumber yang satu dengan sumber yang lain. Sebab pada jaman itu orang Jawa lebih menggunakan tahun Jawa, ada juga yang menggunakan tahun Hijriyah, sementara administrasi Belanda menggunakan tahun Masehi sehingga sering menimbulkan perbedaan.
            Nama isteri-isteri dan anak-anak Pangeran Diponegoro yang tertera di atas adalah bersumber dari buku-buku yang ada maupun dari daftar silsilah yang telah diterbitkan Surat Kekancingan dari Kerajaan Ngayogjokarto.
            Pangeran Diponegoro pernah dibuang ke Manado, tetapi berhubung di sana sudah ada Kyai Mojo maka Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Makassar. Penempatan seorang tawanan dalam satu penjara dikawatirkan akan menyatukan kembali semangat memberontak dan ini sangat tidak diinginkan oleh Belanda. Dengan kekhawatiran yang sama maka Belanda melarang keturunan Pangeran Diponegoro yang ada di Makassar kembali ke Jawa.
 

No comments:

Post a Comment