Marah Roesli dilahirkan di Padang 7 Agustus 1889, ibunya ternyata berdarah jawa merupakan keturunan Sentot Alibasyah, panglima perang pangeran Diponegoro. Marah Roesli menikah dengan Rd Ratna Kencana, wanita sunda berdarah biru yang merupakan cucu RaY Gondomirah menikah dengan Tumenggung Suriamenggala. Sedangkan RaY Gondomirah sendiri adalah cucu Pangeran Diponegoro
http://www.sosok.kompasiana.com/2013/07/22/wasiat-terakhir-marah-rusli-575596.html
http://www.sosok.kompasiana.com/2013/07/22/wasiat-terakhir-marah-rusli-575596.html
Naskah “Memang Jodoh,” karya terakhir Marah
Rusli, baru boleh diterbitkan setelah seluruh tokoh yang ada dalam buku
itu meninggal dunia. Dan itu harus menunggu setelah lebih dari 50 tahun
lamanya.
Suasana teater Salihara pada hari Minggu, 21 Juli
2013, tampak gaduh tidak seperti biasanya. Terdengar suara anak-anak
kecil bermain di barisan belakang kursi penonton. Rasanya tidak pas
mebawa anak-anak kecil yang belum paham tentang gedung pertunjukan. Tapi
saya kemudian maklum, karena mereka adalah anak-anak dari keluarga
besar Marah Rusli yang sedang mengadakan perhelatan berupa peluncuran
buku karya terkahir kakek buyut mereka.
Ini adalah karya terakhir Marah Rusli yang sempat
tersimpan lebih dari 50 tahun lamanya. Karya sastra diterbitkan oleh
Qanita, lini penerbitan dari Mizan. Tentu ada cerita menarik, mengapa
naskah ini sampai tersimpan begitu lama dan diterbitkan oleh Mizan.
Adalah Rully Roesli, salah seorang cucu Marah
Rusli, yang seorang dokter dan juga seorang penulis buku “Playing
‘God’ ” yang juga diterbutkan oleh Mizan. Pada suatu hari Rully Roesli
mencoba menawarkan kepada Mizan bahwa dia punya naskah Marah Rusli yang
sempat disimpam oleh keluarga selama lebih dari 50 tahun. Wasiat dari
sang penulis adalah, bahwa naskah ini baru boleh diterbitkan setelah
seluruh tokoh yang ada dalam buku itu meninggal dunia. Dan itu harus
menunggu setelah lebih dari 50 tahun lamanya!
Narasi dibalik perjalanan naskah hingga diterbitkan
sudah cukup membuat para pembaca menunggu-nunggu karya ini. Apalagi,
naskah asli “Memang Jodoh” ini ditulis dalam tulisan Arab Gundul. Jadi
tentu memerlukan proses panjang sebelum sampai pada edisi cetak oleh
Mizan.
Beberapa catatan ringkasan dari komentar para
pembicara yang terdiri dari Rully Roesli, Remy Sylado dan Fira Basuki.
Diskusi dimoderatori oleh Anton Kurnia.
Rully Roesli:
Pada awalnya belum ada keputusan kapan nasakah
terakhir Marah Rusli ini akan diterbitkan. Tapi keluarga kemudian
memutuskan bahwa naskah yang ditulis Marah Rusli bukan milik keluaraga
tapi sebagai warisan budaya untuk bangsa Indoensia. Dan ini juga sesuai
dengan wasiat dari sang penulis untuk boleh menerbitkan setelah seluruh
tookoh yang ada dalam buku itu meninggal dunia.
Menurut Rully, karakter keseharian Marah Rusli
adalah sopan dan tidak meledak-ledak. Maka, ketika dia menyampaikan
kritik yang tajam sekalipun akan dia lakukan secara sopan, utamanya
lewat tulisan. Buku Siti Nurbaya yang legendaris itu, sebenarnya adalah
salah satu cara Marah Rusli mendobrak tradisi suku Minang yang tergolong
kaku untuk urusan perkawinan.
Dalam buku “Memang Jodoh” ada ditulis sang tokoh
utama, Hilmi, yang tak lain adalah Marah Rusli sendiri pergi ke Belanda
untuk melanjutkan studi. Pada kisah yang sebanarnya, Marah Rusli, tidak
pernah pergi ke Belanda. Buku ini memang semi autobiography dari Marah
Rusli sendiri, yang menceritakan perjalanan kisah asmara dengan gadis
Sunda bernama Raden Putri Kencana.
Penerbitan buku ini dapat dikatakan sebagai hadiah 50 tahun perkawinan antara Marah Rusli dan Raden Putri Kencana.
Remy Sylado:
Pembaca harus mencoba menarik mundur 100 tahun
kebelakang untuk dapat memahami konteks cerita dan gaya bahasa yang
digunakan. Jadi pasti ada jarak antara teks dan seting cerita dengan
pembaca.
Menurut Remy Sylado, ini adalah keberanian Mizan
untuk menerbitkan buku klasik yang sekarang tidak popular. Tapi bisa
penilaian itu salah, karena bisa jadi pasar pembaca buku saat ini sudah
jenuh dengan buku-buku yang ada dan merindukan buku klasik semacam ini.
Sebagai buku klasik, pilihan menggunakan paper back
untuk cover, menurut Remy Sylado, kurang tepat. Seharusnya menggunakan
hard cover.
Sebagai munsyi atau ahli bahasa, Remy Sylado
mengupas buku ini dari kontek bahasa yang digunakan. Dikatakan bahwa
Marah Rusli hidup dalam kontek ketika Indonesia mendapat pengaruh yang
besar dari Belanda. Bahasa yang digunakan oleh Belanda pada waktu itu
adalah Melayu Tinggi. Marah Rusli, sebagai salah satu pelajar yang
mendapat didikan Belanda tentu terpengaruh dengan bahasa tersebut.
Dialog yang digunakan dalam buku Marah Rusli akan terdengar janggal,
karena memang bahasa yang dipakai bukan bahasa pasar, atau bahasa yang
dipakai sehari-hari, melainkan bahasa Melayu Tinggi yang sering dipakai
Belanda. Tapi untuk sebuah pentas teater, naskah dialog model Marah
Rusli ini akan terasa sangat kuat.
Fira Basuki:
Fira Basuki menanggapi buku ini secara personal,
dikaitkan dengan pengalaman pribadinya yang srupa benar dengan cerita
pada “Memang Jodoh.”
Fira Basuki yang dilahirkan dan dibesarkan dalam
keluarga berdarah biru dan Kraton Jogja, pernah mengalami problema dalam
menentukan jodoh. Tak soal dia pernah kuliah S2 di Amerika Serikat,
yang tergolong sudah majudan modern. Ketika menentukan jodoh, maka
keluarga besar akan ikut andil bagian. Budaya Jawa sangat kental dengan
urusan bibit, bebet, bebet, bobot (garis keturunan, pangkat, kekayaan,
penampilan), apalagi untuk golongan berdarah biru.
No comments:
Post a Comment