Wednesday 31 August 2016

Bogor Setelah Pajajaran Runtag

Dikutip dari tulisan Endang Suhendar Diponegoro
Setelah sekian lama hilang dari percaturan historis yang berarti kurang lebih selama satu abad sejak 1579, kota yang pernah berpenghuni 50.000 jiwa itu menggeliat kembali menunjukkan ciri-ciri kehidupan.
Reruntuhan kehidupannya mulai tumbuh kembali berkat ekspedisi yang berturut-turut dilakukan oleh Scipio pada tahun 1687, Adolf Winkler tahun 1690 dan Abraham van Riebeeck tahun 1703, 1704 dan 1709. Dalam memanfaatkan wilayah yang dikuasainya, VOC perlu mengenal suatu wilayah tersebut terlebih dahulu. Untuk meneliti wilayah dimaksud, dilakukan ekspedisi pada tahun 1687 yang dipimpin Sersan Scipio dibantu oleh Letnan Patinggi dan Letnan Tanujiwa, seorang Sunda terah Sumedang.
Dokumen tanggal 7 November 1701 menyebut Tanujiwa sebagai Kepala Kampung Baru dan kampung-kampung lain yang terletak di sebelah hulu Ciliwung, De Haan memulai daftar bupati-bupati Kampung Baru atau Buitenzorg dari tokoh Tanujiwa (1689-1705), walaupun secara resmi penggabungan distrik-distrik baru terjadi pada tahun 1745.
Kisah penemuan bekas-bekas kerajaan oleh Scipio kemudian berlanjut dalam catatan Adolf Winkler (1681) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) yang masing-masing membuat lebih banyak catatan penting tentang bekas-bekas Kerajaan Pajajaran.
Sementara itu, temuan-temuan bekas Kerajaan Pajajaran dalam ekspedisi Scipio membuat Tanujiwa tertarik dan memutuskan untuk pindah serta menetap di Parung Angsana yang lalu dijadikannya Kampung Baru. Bersama pasukannya Tanujiwa kemudian juga mendirikan beberapa kampung lain, yaitu Parakan Panjang, Parung Kujang, Baranang Siang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Parung Banteng, dan Cimahpar. Pada 1912 F. De Haan dalam bukunya memulai daftar bupati Bogor (Kampung Baru) dengan Tanujiwa sebagai bupati pertama (1689-1705).{3} Versi yang berbeda terdapat dalam Babad Bogor (1925) yang tidak mencantumkan Tanujiwa melainkan Mentengkara atau Mertakara (Kepala Kampung Baru ketiga, 1706-1718) sebagai “bupati pertama” Bogor.

ilustrasi pembukaan kapung baru



Lukisan Kampoeng Baroe Tahun 1770, Johannes Rach: Kisah penemuan bekas-bekas kerajaan oleh Scipio kemudian berlanjut dalam catatan Adolf Winkler (1690) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) yang masing-masing membuat lebih banyak catatan penting tentang bekas-bekas Kerajaan Pajajaran. Sementara itu, temuan-temuan bekas Kerajaan Pajajaran dalam ekspedisi Scipio membuat Tanujiwa tertarik dan memutuskan untuk pindah serta menetap di Parung Angsana yang lalu dijadikannya Kampung Baru. Bersama pasukannya Tanujiwa kemudian juga mendirikan beberapa kampung lain, yaitu Parakan Panjang, Parung Kujang, Baranang Siang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Parung Banteng, dan Cimahpar. Pada 1912 F. De Haan dalam bukunya memulai daftar bupati Bogor (Kampung Baru) dengan Tanujiwa sebagai bupati pertama (1689-1705).

NAMA "BOGOR dan BUITENZORG
Dokumen tertua yang mencantumkan nama Bogor barasal dari tanggal 7 April 1752. Dokumen tersebut tertulis nama Ngabei Raksacandra sebagai hoofd van de Negorij Bogor (kepala Kampung Bogor). Saat itu Kampung Bogor terletak di lokasi tanaman kaktus dalam Kebun Raya Bogor sekarang. Sedangkan pasar yang didirikan di dekat kampung dinamakan Pasar Bogor dan masih berdiri dengan nama dan lokasi yang sama hingga sekarang.
Lukisan Rumah Kediaman Baron Van Imhof 1744, cikal bakal Istana Bogor

Pada tahun 1745 mulai muncul Regentschap Kampung Baru atau Regentschap Buitenzorg yang merupakan gabungan 9 buah distrik, yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga, dan Kampung Baru. Regentschap ini dikepalai oleh seorang Demang. Tentang nama Buitenzorg yang lalu menjadi nama lama wilayah Bogor, tentu ada kisahnya sendiri. Pada tahun 1744 Gubernur Jenderal Baron van Imhoff mendirikan sebuah istana-villa di Cipanas. Di antara benteng Batavia dengan Cipanas dibangun pula sebuah rumah sederhana sebagai tempat peristirahatan dalam perjalanan. Rumah istirahat sederhana (di lokasi Istana Bogor sekarang) ini biasa disebut sans-souci, dari bahasa Perancis yang berarti tanpa kesibukan. Saat itu di Eropa Barat memang sedang trend paham romantisme yang menganjurkan agar manusia kembali ke alam. Sans souci padan dengan buitenzorg dalam bahasa Belanda dan karena itulah nama buitenzorg kemudian melekat pada rumah istirahat Van Imhoff.
Ketika Jakarta ditaklukkan oleh Yan Pieter Zoon Coen pada tahun 1619, daerah hulu atas dan sekitarnya, yang dahulunya dimusnahkan Sultan Maulana Hasanudin, ditemukan masih sangat liar dan tidak berpenghuni. Hanya bekas-bekas daerah yang pernah dihuni oleh Sultan masih dapat dijumpai sisa-sisanya di beberapa perkebunan penduduk Jacarta. Sebelum Jacarta ditaklukkan, Pangeran diturunkan dari tahta oleh Sultan Banten, sehingga Pangeran beserta keluarganya menyingkir ke pegunungan (tidak diceritakan sejarah kelanjutannya). Ketika Jacarta ditaklukkan, seluruh penduduk pribumi dibawa oleh Sultan Baten ke Bantam. Pada akhir abad 16 dan awal abad 17, daerah hulu atas Jakarta yaitu sepanjang tepi sungai Citarum mulai dihuni beberapa golongan penduduk. Di sebelah timur tepi sungai dihuni oleh keluarga suku Jawa, sedang di sebelah barat sungai dihuni oleh keluarga Sunda asal Preanger dan Bantam. Menurut catatan harian, tanggal 24 Agustus sampai 15 Oktober 1689 diceritakan kejadian pengejaran pendudukan yang dianggap pengacau dan telah menyebabkan terbunuhnya kaki tangan Kompeni Belanda yaitu Kapten Yonker yang berdarah Ambon.
Selanjutnya terjadi pengembangan perkampungan di sepanjang hulu atas Jakarta yang dihuni oleh orang-orang Sunda diantaranya :
. Tjitrap (Citeurep) dipimpin regent (Kepala Daerah) Aria Soeta.
. Bambo, tidak diketahui siapa yang menjadi Kepala Daerah.
. Tjilingsi (Cileungsi) dan Jimapack (Cimapak) dipimpin oleh 2 regent yaitu Kyai Mas Harya Wangsa dan Kyai Wangsa Koesoemo.
. Tjikias (Cikeas) dipimpin oleh regent Anggaber Wangsa dan lurah Angajaya.
. Tjikalong (Cikalong) dipimpin oleh Aria Nata Menggala.
Kedua daerah yang disebut terakhir yaitu Cikeas dan Cikalong akhirnya menjadi daerah Tjiandjoer (Cianjur). Daerah tersebut oleh kerajaan Mataram telah diserahkan kepada Kompeni Belanda pada tahun 1677. Pada mulanya para Kepala Daerah di atas tidak mengakui Pemerintahan Kompeni Belanda. Baru setelah ditandatangani perjanjian pada tahun 1705 antara Kompeni Belanda dengan Mataram, maka barulah mereka mengakui Kompeni Belanda dan menghadap ke Batavia . Pertengahan abad 17, Cianjur dihuni oleh Kyai Wira Tanoe dari Telaga, Cirebon , dengan penduduk kurang lebih 3000 orang. Keluarga regent Cianjur berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga yang lain. Usaha pertama untuk menghuni kembali daerah hulu atas Jacarta adalah atas prakarsa Kompeni, yaitu Gubernur Jenderal Camphuis, dan dilaksanakan oleh Sultan Tanujiwa dengan sekelompok pekerja dari Sumedang. Mereka bergerak ke daerah ebkas Kerajaan Pajajaran yang masih luas. Letnan Tanujiwa dan pengikutnya membangun daerah baru dengan nama Kampung Baru, dengan Letnan Tanujiwa sebagai regent, yang diwajibkan melapor pada Kapten Winkier. Tahun 1690, Gubernur Jenderal Camphius meneluarkan perintah untuk membuat peta Kampung Baru.

1. Ki Mas Tanujiwa/Luknan/Letnan Candramanggala

Kampung Baru yang didirikan oleh Tanujiwa terletak di Cipingang (Jatinegara) dan di Bogor . Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Angsana, sekarang tempat itu bernama Tanah Baru. Parung Angsana sebagai tempat kedudukannya sudah merupakan semacam “pusat pemerintahan” bagi kampung-kampung yang didirikan oleh Tanujiwa beserta pasukannya yaitu Parakan Panjang. Parung, Kujang, Panaragan, Bantarjati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banten dan Cimahpar. Dokumen yang dikutip oleh Den Haan (1912) menyebut Tanujiwa beserta anak buahnya berada di Kampung Baru, Pajajaran dan daerah sebelah hulunya. Dengan demikian Tanujiwa telah ditunjuk sebagai pcmimpin koloni di sebelah Selatan Cikeas. Den Haan mengawali daftar bupati-bupati Bogor (Kampung Baru) dengan tokoh Tanu­jiwa ini (1689-1705), walaupun secara resmi peng­gabungan "distrik-distrik" Kabupaten Kampung Baru ter­jadi tahun 1745. Kedekatan batin Tanujiwa dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kompeni. la merasakan kepahitan bahwa seorang letnan pribumi tetap harus tunduk kepada seorang sersan hanya karena ser­san itu seorang 8elanda. Akhirnya Tanujiwa menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekua­saan VOC. Mereka kalah dan dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika.

Asal Usul
KYAI TANUJIWA bersaudara adalah generasi ke 3 dari Raja Pajajaran terakhir yaitu PRABU SURYAKENCANA/RAGAMULYA, silsilahnya adalah : TANUJIWA bin SANTOWAN KADANG SERANG bin RADEN AJIMANTRI bin PRABU SURYAKENCANA. Kalau Pajajaran tetap berdiri, tidak mustahil dia sebagai nominator penerus tahta berikutnya.[6];
Dalam sebuah artikel / blog dari Trah Keturunan Sumedang Larang dinyatakan bahwa dalam silsilah keluarga besar keturunan Kerajaan Sumedang Larang tidak ditemukan sosok Tanujiwa, akan tetapi nama yang diawali "Tanu" memang ada dan popular pada masanya seperti : Tumenggung Tanumadja (1706 – 1709) dan Adipati Tanubaya (1773-1775). Dalam hal ini menguatkan analisa bahwa Kyai Tanujiwa bukan orang Sumedang melainkan orang Pakuan/Pajajaran yang diberi nama oleh orang tuanya mengikuti nama-nama yang popular di Sumedang pada jaman itu, akan tetapi dia pada dasarkan orang Pakuan-Pajajaran yang tinggal sementara di Sumedang;
Menurut catatan "Buk Sakawayana", Sunan Amangkurat I Sultan Mataram ke 4 (1646-1677) menikah dengan saudara sepupu Kyai Tanujiwa bersaudara yaitu Raden Apun Pananjung atau Ratu Kulon I, kalau melihat kekerabatan dan tahun kelahirannya tidak tertutup kemungkinan mereka diikut-sertakan sebagai prajurit Kesultanan Mataram dibawah pimpinan Adipati Ukur yang berangkat pada periode kedua Mei 1629. Kyai Tanujiwa dikalkulasi lahir pada tahun 1615, Kyai Singa Manggala dikalkulasi lahir pada 1612, dan kakak tertuanya Tanduran Sawita dikalkulasi lahir pada tahun 1610, jadi umur mereka pada saat Mataram menyerang Batavia ke 2 adalah Kyai Tanujiwa antara 13-16 tahun, Kyai Singa Manggala antara 17-20 tahun, dan Kyai Perlaya antara 19-22 tahun.

2. Luknan/Letnan Mentangkus,  asal Selacau

3. Luknan/Letnan Martawangsa, asal Selacau

4. R Aria Wiranata,  putra Dalem Aria Wiratanudatar Tarikolot
Beliau adalah anak dari Dalem Aria Wiratanudatar II atau terkenal dengan Dalem Tarikolot, Cianjur, pada masa pemerintah Dalem Aria Wiratanudatar II, terjadi beberapa kejadian besar di tatar sunda diantaranya :
- terjadinya perang saudara di Banten antara Sultan Abdul Fattah/Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya yang bergelar Sultan Haji
- terjadinya pemberontakan Haji Prawatasari/Raden Alit dari Jampang yang menyebabkan belanda banyak kerugian
- perjanjian baru antara Mataram dan Belanda VOC pada tanggal 5 oktober 1705, pulau jawa bagian barat, dipecah menjadi beberapa bagian, antara lain :
  1. Batavia
  2. Kampung Baru (Buitenzorg, Bogor sekarang)
  3. Cianjur
  4. Sukabumi
  5. Jampang
  6. Kabupaten Bandung, Sumedang, Karawang, Sukapura
  7. Daerah bekas Cirebon Galuh dan Gebang

Setelah Pajajaran runtag di Pakuan/Bogor oleh Kesultanan Banten, di Bogor tidak ada bupati ataupun wakil pemerintahan dari Banten, seperti Batavia dimana pihak Banten mengangkat bupati/adipati  Tubages Angke, Pangeran Jayakerta/Jaketra. Bogor dibiarkan menjadi hutan belantara yang baru dibuka lagi sekitar tahun 1687 oleh Scipio, artinya walaupun pakuan telah diruntuhkan oleh Banten, tetapi Pakuan bukan-lah bawahan dari kesultanan Banten, mungkin hal ini karena penghormatan/rasa sungkan sultan Banten terhadap Prabu Siliwangi yang merupakan masih leluhur Banten juga. Setelah Mataram dikalahkan VOC/Belanda, bogor menjadi bawahan VOC/belanda, Cianjur yang letaknya paling dekat dengan Bogor, dan mempunyai pemerintahan (bupati ) dipercaya untuk membuka hutan yang dahulunya ibukota Pajajaran tersebut, dilihat dari gen bupati Cianjur juga merupakan masih keturunan Prabu Siliwangi juga sang maharaja tatar sunda. Karena yang menjadi Adipati/Bupati Bogor/Kampung Baru adalah anak Aria Wiratanudatar II, otomatis Bogor merupakan bawahan Cianjur saat itu.

5. R Tumenggung Panji
Beliau adalah putra dari  R Aria Wiranata, jadi R Tumenggung Panji ini adalah cucu Dalem Aria Wiratanudatar II, Cianjur. R Tumenggung Panji menjadi Bupati Bogor lamanya 5 tahun.

6. R Tumenggung Wiradiredja
Beliau adalah putra R Aria Wiranata, jadi R Tumenggung Wiradiredja adalah cucu Dalem Aria Wiratanudatar II Cianjur, pada masa pemerintahan beliau di wilayah Bogor sudah kedatangan/masuk anak/keturunan Sultan Banten Sultan Abdul Fatah/Sultan Ageng Tirtayasa, yang saat itu terjadi perang di tanah Banten, adapun anak anak Sultan Abdul Fatah ini adalah Pangeran Sake/Sholeh (makam Citeureup), Pangeran Sageri (makam Jatinegara Kaum). Pada masa berikutnya anak R Tumenggung Wiradiredja, yaitu RH Thohir pendiri mesjid empang,  merupakan dalem kampung baru yang dimakamkan di empang menikah dengan anak dari Pangeran Sageri bin Sultan Abdul Fath (Ageng Tirtayasa) yaitu Ratu Syarifah. Tumenggung Wiradireja dimakamkan di Sukaraja, faktor ini juga yang membuat ulama besar kelahiran Cianjur KHR Abdullah Bin Nuh dimakamkan di Sukaraja karena beliau juga masih keturunan Dalem Aria Wiratanudatar (Cikundul)

7. R Tumenggung Nataganara, putra Dalem Dicondre, asal Cianjur 26 tahun
8. R Aria Ranggagede di Bogor, asal Sukaraja, 9 tahun
9. R Aria Jayanegara/ Aria Banceuy, putra Dalem Muhidin 5 tahun
Beliau adalah ayahanda dari ulama besar Syekh Yusuf (Baing Yusuf/RH Yusuf) yang dimakamkan di kaum Purwakarta, Syekh Yusuf adalah guru dari ulama besar yang mendunia Syekh Nawawi Albantani, seorang penulis kitab kuning yang dimakamkan di jannatul Mala Mekah. R Aria Jayanegara adalah kakak dari Nyi R Hamsyiah yang merupakan istri dari Adipati Suryalaga II (Dalem Talun, Sumedang), yang juga pernah menjabat jadi bupati Bogor kemudian dipindahkan ke Karawang.
10. R Aria Suryalaga, Talun, Sumedang
Di Pasirkuda yang menuju Pancasan ada jalan "Aria Suryalaga", beliau adalah salah satu adipati/bupati Bogor, yang keturunannya banyak dimakamkan di belakang mesjid AlHuda, Gunung Batu/Pasir Kuda, Bogor
Raden Tumenggung Suryalaga II adalah putra ke 4 dari Dalem RAA. Suryalaga I, Bupati Sumedang ke 10 (1765-1773). Ketika masih anak-anak, namanya ialah Raden Ema dibesarkan bersama-sama Raden Jamoe saudara sepupunya, Dia putra bupati Sumedang ke 9 yang bernama Raden Adipati Surianagara (1761-1765). Pada saat ayahnya RAA. Surialaga I wafat pada tahun 1773, Raden Ema masih berusia 9 tahun,dan Raden Jamoe 11 tahun, kedua-duanya belum cukup dewasa untuk menjadi pengganti Ayahnya menjadi Bupati Sumedang. Baik Raden Jamu maupun Raden Ema harus menunggu dewasa untuk menjadi Bupati Sumedang, akhirnya selama 3 periode masa jabatan Bupati Sumedang dipimpin oleh Bupati Penyelang atas pilihan Belanda.
Pada masa itu ada kebiasaan bahwa yang diangkat sebagai pengganti bupati sesuatu daerah, haruslah keturunan langsung daripada bupati yang sebelumnya, artinya harus keturunan bupati setempat atau keluarga dekatnya. Tentu saja yang dianggap akan setia kepada “pemerintah agung”, yaitu Kompeni Belanda. Kalau calon yang berhak dianggap akan bersikap memusuhi Belanda, biasanya disingkirkan dengan berbagai cara.
Baru kalau dari antara keluarga bupati setempat tidak ada yang layak diangkat sebagai pengganti, dicarilah calon dari tempat lain yaitu yang sudah diketahui kecakapan dan kesetiaannya. Dalam hal ini agaknya Tumenggung Tanubaya dianggap memenuhi syarat itu.
Walaupun dengan perasaan kurang puas, namun keluarga menak Surnedang menerima pengangkatan itu karena memang calon Sumedang yang berhak sendiri masih belum sampai umur. Tetapi ketika dua tahun kemudian Tumenggung Tanubaya berhenti, ternyata yang diangkat bukanlah Jamu yang ketika itu sudah dewasa, melainkan Tumenggung Patrakusumah menantu Tumenggung Tanubaya. Tindakan pemerintah Belanda itu menimbulkan rasa tidak puas di kalangan keluarga menak Sumedang, tetapi juga menimbulkan kecuripan di pihak TumenggungTatrakusumah sendiri.
Suasananya sedemikain rupa, sehingga Jamu menganggap perlu untuk menghindar dari Sumedang. Plot ini telah menyebabkan seorang pengarang Sunda yang terkemuka, Memed Sastrahadiprawira (1897 – 1932) menulis sebuah roman berdasarkan riwayat hidup Jamu, berjudul Pangeran Kornel (1930) yang sudah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Muis (1948). Di dalam roman itu Memed menampilkan seorang tokoh (yang mungkin) fiktif, yaitu Demang Dongkol, yang dilukiskan sebagai penghasut yang makin rnengeruhkan hubungan antara Jamu dengan Tumenggung Patrakusumah, walaupun yang terakhir itu telah mengambil Jamu sebagai menantu.

Rd. Jamu menjadi Kepala Cutak, Rd. EMA menjadi Juru Tulis Di Cianjur
Jamu melarikan diri ke Malangbong, kemudian ke daerah Cianjur. Di Cianjur dia mendapat perlindungan dan kepercayaan dari Raden Aria Adipati Wiratanudatar VI yang ketika itu menjadi bupati (1776-1813). Bupati Wiratanudatar yang pernah mengenal ayah Jamu, bersimpati kepada anak muda itu. Diberinya pekerjaan di lingkungan kabupaten, dan ketika terbuka lowongan Kepala Cutak Cikalong Wetan, maka ditempatkannya di sana. Jamu pun dinikahkan dengan salah seorang kerabatnya.
Ketika Jamu duduk sebagai Kepala Cutak Cikalong Wetan itulah datang Ema Surialaga, adik sepupunya, yang juga merasa kurang aman hidup di tempat kelahirannya sendiri (Sumedang). Ema pun mendapat simpati bupati Wiratanudatar. Dia diangkat sebagai jurutulis kabupaten, kemudian ketika ada lowongar, diangkat sebagai mantri gudang kopi di Bogor, bahkan kemudian menjadi bupati Bogor, bupati Karawang dan bupati Sukapura. Ema mengundurkan diri dari jabatan terakhir itu atas permintaannya sendiri.

Rd. Ema Suryalaga di Bogor
Pada saat Pangeran Kusumadinata IX / Pangeran Kornel menjadi Bupati Sumedang ke 14 (1791 – 1828), Raden Ema Suryalaga ditunjuk sebagai Mantri Gudang Kopi di Bogor antara tahun 1784-1789(perkebunan Kopi di Bogor terkenal kualitasnya terbaik, berada di daerah Cibalagung, Ciomas). Dalam posisinya sebagai Mantri Gudang Kopi, juga sebagai ningrat keturunan Sumedang Larang, karena usianya sudah cukup matang kedua orang tuanya menikahkan Raden Ema dengan Nyi Raden Hamsyah putri ke 14 dari Dalem Aria Wiratanudatar V / Kyai Muhidin, Bupati Cianjur (), dan menetap di Cibalagung-Bogor.
Belanda memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke Buitenzorg pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1810). Dengan sendirinya Buitenzorg disamping dikepalai oleh seorang Bupati juga terdapat Residen, Jaksa dan Gubernur Jenderal. Bupati yang menjabat di Buitenzorg tentunya harus memiliki Qualifikasi yang lebih dibanding daerah lainnya, oleh karena itu mengingat kecakapan dan pengalaman yang dimiliki RTA Suryalaga II cukup menonjol, juga karena sudah menguasai daerah Bogor / Buitenzorg, sekitar tahun 1801 ditunjuk menjadi Bupati Buitenzorg selama lebih kurang 10 tahun (1801-1811).

RTA. Suryalaga II menjadi Bupati Penyelang di Karawang dan Bupati Indramayu(1811-1813)
Pada tahun 1811 Belanda kalah perang dengan Inggris, sehingga wilayah jajahan Belanda beralih kepada Inggris. Begitupun di Jawa, pergantian penguasa penjajah mengakibatkan banyak kebuntuan pada pemerintahan daerah termasuk Karawang. Pada masa gubernur jenderal Thomas Stamford Raffles banyak Bupati yang diganti dan dirotasi, termasuk Karawang.
Pada tahun 1811 Bupati Karawang dijabat oleh Raden Aria Sastradipura sebagai Bupati ke 6, oleh penguasa baru pada tahun 1811 digantikan oleh Raden Adipati Suryalaga II selama 2 tahun (1811-1813).
Dalam waktu yang hampir berbarengan, di Cirebon tepatnya di daerah Tomo (Kadipaten) terjadi kerusuhan yang akhirnya kerusuhan tersebut dapat dipadamkan atas dukungan RT. Suryalaga II yang akhirnya mendapatkan gelar Adipati dan kemudian dipindahkan ke Dermajoe (Indramayu).

RTA. Suryalaga II menjadi Bupati Penyelang di Sukapura (1813-1814)
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles berdasarkan usulan Residen Bogor J.Mc.Quid jeung van Lawick van Pabst di Buitenzorg 31 Desember 1812 :
Bupati Karawang ditunjuk jadi Bupati Sukapura;
Tumenggung Parakanmuncang jadi Bupati Limbangan.
Selanjutnya Raffles mengeluarkan keputusan 16 Pebruari 1813 :
Kabupaten Sukapura didirikan kembali tanpa distrik Suci; Panembong; dan Malangbong. yang menjabat Bupati yaitu Rd. Tumenggung Surialaga II, dengan ibukota di Singaparna

Keturunan RTA. Surialaga II
Mengacu kepada beberapa sumber yang dipercaya (Sejarah Sumedang dari masa ke masa, dan Data dari pihak keluarga/ahli waris), diperkirakan RTA. Surialaga II, menikah dengan 2 orang istri dengan jangka waktu yang berjauhan. Istri yang pertama bernama Nyi Raden Hamsyah (putra no 14 Dalem Aria Wiratanudatar V / Kyai Muhidin, Bupati Cianjur) yang dinikahinya pada saat beliau berusia Dewasa/Mapan antara tahun 1784-1789 dimana pada usia tersebut beliau sedang menjabat sebagai Mantri Gudang Kopi di Bogor, dari pernikahan pertama beliau dikaruniai 2 orang putra yaitu :
Rd. Rangga Tjandramanggala, sebagai Patih yang kemudian menjadi Bupati Bogor tahun (?). Keturunan Rd. Tjandramanggala kebanyakan di Bogor, khususnya di daerah Pasirkuda-Ciomas. Seperti halnya Ayahnya RTA. Soerialaga II dan dirinya yang pernah menjadi Bupati Bogor, putranya yang bernama RTA. Soeriamanggala/RTA. Soeriadimanggala juga pernah menjadi Bupati Bogor, kemudian banyak keturunan Rd Tjandramanggala yang menikah dengan Cucu dan Cicit Raden Mas Djonet Dipomenggolo putra ke 5 Pangeran Diponegoro. Diantara keturunan Rd. Tjandramanggala adalah : Mayjen Purn. Ishak Djuarsa (Ibunya keturunan Diponegoro generasi 4), R. Ratnakancana menikah dengan Pujangga Marah Roesli.
Rd. Hamzah
Pernikahan kedua diperkirakan berlangsung antara tahun 1814-1819 dalam usia 50-55 tahunan, ada kemungkinan isteri keduanya keturunan ningrat Sumedang.
bersambung.....




Monday 29 August 2016

Para Bupati Bogor setelah Pajajaran Runtag

(Dari catatan RH Misbah Bin Nuh, ditulis kembali oleh R Memed Sunardi, Jl Bondongan 46, Bogor, November 1966)

1. Luknan/Letnan Candramanggala/Ki Mas Tanujiwa,  asal Sukawayana
2. Luknan/Letnan Mentangkus,  asal Selacau
3. Luknan/Letnan Martawangsa, asal Selacau
4. R Aria Wiranata,  putra Dalem Aria Wiratanudatar Tarikolot Cianjur
5. R Tumenggung Panji, Putra R Aria Wiranata, Cianjur, 5 Tahun
6. R Tumenggung Wiradireja, Putra R Aria Wiranata, Cianjur, 9 Tahun
7. R Tumenggung Nataganara, putra Dalem Dicondre, asal Cianjur 26 tahun
8. R Aria Ranggagede di Bogor, asal Sukaraja, 9 tahun
9. R Aria jayanegara/ Aria Banceuy, putra Dalem Muhidin 5 tahun
10. R Aria Suryalaga, Talun, Sumedang
11. R Tumenggung Wiradireja, Sukaraja
12. R Aria Wiranata, putra RH M Tohir (pendiri mesjid empang bogor), asal Cianjur
13. R Aria Suriawinata/Dalem Solawat, putra Wiranata

14. R Aria Sutawijaya, Hoofd Demang merangkap Hoofd Jaksa
15. R Aria Mangkuwijaya, Hoofd Demang merangkap Hoofd Jaksa

16. R Tumenggung Suradimenggala, kepala Demang, asal Ciomas, tahun 1878

17. Zelfstanding Patih Tirta, terkenal patih Cikaret
18. Zelfstanding Patih R Aria Suradiningrat asal Ciomas tahun 1924
19. R Aria Suria Jayanegara, asal Sumedang-Garut, tahun 1926-1945
20. R Harjadparta, kepala kabupaten federal residen : R abas/R Ipik
21. R Abdulah, kepala kabupaten, residen R Wahyu
22. R Afandi Kartajumena, walikota Bogor residen R Murjani 1959
23 Let Kol Achmad Syam, walikota Bogor tahun 1965

bersambung ke sejarah bogor setelah pajajaran runtag