Tuesday 10 February 2015

Hubungan Pangeran Jonet dan Adipati Sumedang Suryalaga 2

berikut ini tulisan dan analisa Bapa Endang Suhendar trah Pangeran Jonet dari RM Ngabehi Dipamenggala di facebook grup Diponegoro Bogor
Endang Suhendar Dalem Rd. Surialaga II atau Raden Ema memulai karier sebagai Jurutulis di kantor Bupati Cianjur (1776-1781), pada saat itu Raden Ema masih berusia 17 tahunan. Beberapa tahun kemudian, beliau diangkat menjadi Mantri Pengawas Gudang Kopi di Bogor antara tahun 1785-1790. Lokasi gudang kopi di Bogor diperkirakan berada di daerah Cibalagung, Ciomas karena Kopi Cibalagung terkenal kualitasnya terbaik se Hindia Belanda. Kemudian sekitar tahun 1790-1810 Raden Ema diangkat menjadi Bupati Bogor/Buitenzorg dan menetap di Bogor didaerah Pasir Kuda. Pada saat tinggal di Bogor beliau sudah berkeluarga dengan istri pertamanya Nyi Rd Hamsyah (putra no 14 Dalem Aria Wiratanudatar VI / Kyai Muhidin). 1811-1813 oleh Raffles beliau dipindah menjadi Bupati Karawang, kemudian 1813-1814 dipindah lagi menjadi Bupati Sukapura/Tasikmalaya sampai akhirnya mengundurkan diri dan menetap di Sumedang. Di Sumedang beliau diangkat menjadi Bupati ke 17 pada tahun (1834-1836).
Endang Suhendar Putra Dalem Rd. Surialaga II dari istri pertamanya ada 2 orang, yaitu : 1) Rd. Rangga Tjandramanggala, 2) Rd. Hamzah. Raden Rangga Tjandramanggala tidak ikut ayahnya ke Sumedang, karena pada saat ayahnya pindah dari Bogor ke Karawang pada tahun 1811, jabatan Bupati Bogor digantikan orang lain, dan Rd Rangga Tjandramanggala diangkat jadi "Patih". Kemudian sekitar tahun 1830an Patih Tjandramanggala menjadi Bupati Bogor sampai wafat pada tahun 1857 dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Gunung Batu - Bogor, tidak jauh dari tempat tinggalnya
Endang Suhendar Mengacu ke Catatan Saya 3 tahun lalu mengenai keberadaan RM Jonet di Bogor, dan mengacu ke artikel (blog) tentang Raden Jonet guru silat Mataraman, juga menceritakan tentang RM Jonet yang diungsikan oleh Pangeran dari Kuningan, saya berpendapat bahwa Pangeran Kuningan yang dimaksud adalah RTA Tjandramanggala atau RTA Surialaga II karena sebagai penguasa Bogor yang juga keturunan langsung Kerajaan Sumedang Larang beliau mengatahui persis mengenai Perjuangan Pangeran Diponegoro. Disamping itu Sumedang Larang pernah jadi Vazal Kesultanan Mataram sejak 1620-1705.
Endang Suhendar RM Jonet pada saat diberi nama oleh Pangeran Diponegoro belum memakai nama belakang. Kalau melihat catatan di atas, nama belakang "Dipomenggolo / Dipamenggala" diberikan oleh keluarga RTA Tjandramanggala untuk menyamarkan keberadaannya di Sunda (nama belakang MANGGALA banyak digunakan oleh keturunan ningrat Sumedang, Cianjur dan Garut, seperti : Singamanggala, Wangsamanggala, Suramanggala), apalagi putra RTA Tjandramanggala yaitu RTA. Suriamanggala/Suradimanggala dinikahkan dengan Cucu RM. Jonet putra ke 2 RM Haryomenggolo yang bernama RAy Gondomirah / Gandamirah.

Friday 6 February 2015

Menteri Anies terima Tongkat Diponegoro yang Dikembalikan Belanda

Kisah Pusaka Diponegoro
Menteri Anies dan Tongkat Diponegoro yang Dikembalikan Belanda
Tia Agnes Astuti - detikNews


Jakarta - Mendikbud Anies Baswedan menerima secara resmi tongkat Pangeran Diponegoro yang dikembalikan pihak Belanda. Sudah ratusan tahun tongkat itu dibawa ke negeri Belanda. Tongkat itu diambil setelah Diponegoro ditangkap.

Di Galeri Nasional, Kamis (5/2) malam, perwakilan dari Belanda Michael Bauld menyerahkan tongkat itu. Menteri Anies kemudian menerima tongkat yang selalu dibawa Diponegoro selama perang Jawa.

Selain tongkat, sejumlah benda memang lekat dengan Pangeran Diponegoro antara lain jubah, pelana, keris, dan tombak. Beberapa benda sudah disimpan di museum nasional, dan kini tongkat melengkapi kembali ke tanah air.

"Kita harus bangga dengan tongkat pusaka ini menjadi milik Tanah Air," kata Anies dalam sambutannya.

Anies tampak antusias dengan tongkat itu. Dia juga memegang tongkat itu. Tongkat itu kabarnya disita pihak Belanda saat Diponegoro ditangkap pada 1832 silam.

Kini, tongkat pusaka tersebut dipajang di ruang pusaka Gedung A Galeri Nasional dalam eksibisi 'Aku Diponegoro: Sang Pangerang dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh hingga Kini'. Bersamaan dengan tombak perang miliknya dan pelana kuda Diponegoro. Pameran ini digelar 6 Februari sampai 8 Maret 2015.

Jakarta - Sebuah pameran mengenai Pangeran Diponegoro diselenggarakan di Galeri Nasional, Gambir, Jakarta Pusat. Salah satu pusaka yang dipamerkan adalah Kyai Cokro. Tongkat panjang ini memiliki bentuk cakra di bagian atasnya.

"Tongkat ini sebenarnya dibuat sekitar abad 16 untuk Sultan Demak, dan bukan dibuat untuk khusus untuk Pangeran Diponegoro," kata Sejarahwan Peter Carey, yang telah melakukan penelitian panjang mengenai Pangeran Dipenogoro, kepada detikcom, Jumat (6/2/2015).

Peter menjelaskan, tongkat ini diberikan pada seseorang rakyat biasa kepada Pangeran Diponegoro pada sekitar tahun 1815, sekitar sepuluh tahun sebelum perang Jawa dimulai pada 1825. "Mungkin rakyat ini sudah melihat kalau Diponegoro akan menjadi pemimpin," katanya.

Tongkat ini kemudian dipakai Diponegoro saat melakukan peziarahan di berbagai wilayah di Jawa. "Tapi Cakra di ujung tongkat ini cukup tajam, jadi bisa juga digunakan untuk membela diri," katanya.

Tongkat ini kemudian bisa dirampas pada 1829, lalu setelah berpindah-pindah tangan akhirnya dibawa ke Belanda. "Tongkat ini kemudian dibawa ke Belanda," katanya.

Peter mengatakan, keturunan keluarga pemilik tongkat ini kemudian mencari tahu asal muasal tongkat tersebut. Malahan mereka pernah berkirim surat mengenai tongkat tersebut pada Peter. Setelah diteliti ternyata benda ini adalah tongkat Kyai Cokro milik Diponegoro.

"Sebab itulah tongkat ini bisa dipamerkan di sini," katanya.


Kisah Pusaka Diponegoro
Kisah Keluarga JC Baud yang 183 Tahun Simpan Tongkat Kiai Cokro Diponegoro
Nograhany Widhi K - detikNews

Jakarta - Bagaimana tongkat pusaka Diponegoro sampai ke Belanda dan kembali lagi ke Indonesia? Ternyata, keluarga Jean Chretien (JC) Baud dan keturunannya yang menyimpan tongkat ini 183 tahun.

JC Baud, adalah orang keturunan Swiss yang bekerja untuk Belanda, hingga menjadi Gubernur Jenderal Belanda di Jawa pada tahun 1833-1836.

JC Baud, kemudian diberi tongkat itu oleh Pangeran Notoprojo pada Juli 1834, saat melakukan inspeksi pertama di Jawa Tengah pada musim kemarau. Pangeran Notoprojo sendiri adalah cucu dari komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang. Tongkat itu berada di tangan Pangeran Notoprojo setelah penangkapan Diponegoro pada fase akhir Perang Jawa, kemungkinan pada 11 Agustus 1829.

Pangeran Notoprojo memberikan tongkat ini pada JC Baud, karena berusaha mengambil hati para penguasa kolonial yang baru di Jawa dengan mempersembahkan artefak ini. Notoprojo menjadi sekutu politik yang penting bagi Belanda setelah menyerahkan diri pada 24 Juni 1827. JC Baud membawa tongkat itu ke Belanda dan mewariskan pada keturunannya

"Pada 2012, ayah dari kakak beradik Erica Lucia Baud dan Michiel Baud meninggal dunia. Mereka ini keturunan JC Baud, cicit-cicitnya," jelas Nebojsa Djordevic sejarawan seni dari Serbia yang meneliti Diponegoro dari lukisan untuk thesisnya di UNS-Solo saat ditemui di Galeri Nasional, Jl Medan Merdeka Timur, Jumat ( 6/2/2015).

Sejak tahun 2012 mereka telah terus memelihara warisan kakek buyutnya itu hingga Agustus 2014, datanglah Harm Stevens dari Rijkmuseum kepada keluarga Baud untuk meneliti tentang tongkat Diponegoro.

"Erica dan Michiel sudah tahu tongkat ini punya Pangeran Diponegoro. Mereka lantas bertanya pada Stevens, apa yang harus mereka lakukan dengan ini. Steven menyarankan untuk mengembalikannya ke Indonesia," jelas Nebo, panggilan Nebojsa


Dalam tongkat itu, menurut Nebo, terselip kertas yang keterangannya ditulis JC Baud sendiri, bunyinya demikian:

Deze staf, tjokro genaamd, heeft toebehoord aan Prins Diepo Negoro en is in juli 1834 door Pangrerang Noto Prodjo aan J.C Baud, Gouverneeur General van Ned.

De staf is afkomstig van de Sultans van Demak en werd door Diepo Negoro gedragen telk ens wanneer hij als pelgrim naar heilige plaatsen ging om zegen af te bidden op zijne indernemingen.

Tulisan itu kurang lebih menceritakan asal usul tongkat itu yang aslinya dimiliki Sultan Demak, kemudian ke tangan Diponegoro, ke Notoprojo hingga ke JC Baud, seperti yamg telah diceritakan di atas.

Pengembalian tongkat itu juga dibantu Rijkmuseum, Kedubes Belanda di Jakarta, serta Peter BR Carey, sejarawan yang sudah 40 tahun meneliti Diponegoro, hingga datang ke Indonesia pada Kamis ( 5/2/2015) kemarin.

"Kami berharap bahwa penyerahan tongkat ini menjadi momentum yang kecil namun penting secara simbolis dalam memasuki era baru yang diisi dengan saling menghormati, persahabatan dan persamaan. Dengan tulus kami berharap bahwa seperti itulah momen ini akan dikenang," demikian tulis Erica dan Michiel Baud dalam buku katalog tongkat ini " A Lost Pusaka Returned".
                                 Mendikbud Anis Bawesdan Memegang tongkat Diponegoro