Monday 30 September 2013

Wasiat Terakhir Marah Rusli

Marah Roesli dilahirkan di Padang 7 Agustus 1889, ibunya ternyata berdarah jawa merupakan keturunan Sentot Alibasyah, panglima perang pangeran Diponegoro.    Marah Roesli menikah dengan Rd Ratna Kencana, wanita sunda berdarah biru yang merupakan cucu RaY Gondomirah menikah dengan Tumenggung Suriamenggala. Sedangkan RaY Gondomirah sendiri adalah cucu Pangeran Diponegoro

 http://www.sosok.kompasiana.com/2013/07/22/wasiat-terakhir-marah-rusli-575596.html

Naskah “Memang Jodoh,” karya terakhir Marah Rusli, baru boleh diterbitkan setelah seluruh tokoh yang ada dalam buku itu meninggal dunia. Dan itu harus menunggu setelah lebih dari 50 tahun lamanya.
137446247011888173
Rully Roesli sedang menandatangi peluncuran buku Marah Rusli, sang kakek
Suasana teater Salihara pada hari Minggu, 21 Juli 2013, tampak gaduh tidak seperti biasanya. Terdengar suara anak-anak kecil bermain di barisan belakang kursi penonton. Rasanya tidak pas mebawa anak-anak kecil yang belum paham tentang gedung pertunjukan. Tapi saya kemudian maklum, karena mereka adalah anak-anak dari keluarga besar Marah Rusli yang sedang mengadakan perhelatan berupa peluncuran buku karya terkahir kakek buyut mereka.
Ini adalah karya terakhir Marah Rusli yang sempat tersimpan lebih dari 50 tahun lamanya. Karya sastra diterbitkan oleh Qanita, lini penerbitan dari Mizan. Tentu ada cerita menarik, mengapa naskah ini sampai tersimpan begitu lama dan diterbitkan oleh Mizan.
Adalah Rully Roesli, salah seorang cucu Marah Rusli, yang seorang dokter  dan juga seorang penulis buku  “Playing ‘God’ ” yang juga diterbutkan oleh Mizan. Pada suatu hari Rully Roesli  mencoba menawarkan kepada Mizan bahwa dia punya naskah Marah Rusli yang sempat disimpam oleh keluarga selama lebih dari 50 tahun. Wasiat dari sang penulis adalah, bahwa naskah ini baru boleh diterbitkan setelah seluruh tokoh yang ada dalam buku itu meninggal dunia. Dan itu harus menunggu setelah lebih dari 50 tahun lamanya!
Narasi dibalik perjalanan naskah hingga diterbitkan sudah cukup membuat para pembaca menunggu-nunggu karya ini. Apalagi, naskah asli “Memang Jodoh” ini ditulis dalam tulisan Arab Gundul. Jadi tentu memerlukan proses panjang sebelum sampai pada edisi cetak oleh Mizan.
Beberapa catatan ringkasan dari komentar para pembicara yang terdiri dari Rully Roesli, Remy Sylado dan Fira Basuki. Diskusi dimoderatori oleh Anton Kurnia.
Rully Roesli:
Pada awalnya belum ada keputusan kapan nasakah terakhir Marah Rusli ini akan diterbitkan. Tapi keluarga kemudian memutuskan bahwa naskah yang ditulis Marah Rusli bukan milik keluaraga tapi sebagai warisan budaya untuk bangsa Indoensia. Dan ini juga sesuai dengan wasiat dari sang penulis untuk boleh menerbitkan setelah seluruh tookoh yang ada dalam buku itu meninggal dunia.
Menurut Rully, karakter keseharian Marah Rusli adalah sopan dan tidak meledak-ledak. Maka, ketika dia menyampaikan kritik yang tajam sekalipun akan dia lakukan secara sopan, utamanya lewat tulisan. Buku Siti Nurbaya yang legendaris itu, sebenarnya adalah salah satu cara Marah Rusli mendobrak tradisi suku Minang yang tergolong kaku untuk urusan perkawinan.
Dalam buku “Memang Jodoh” ada ditulis sang tokoh utama, Hilmi, yang tak lain adalah Marah Rusli sendiri pergi ke Belanda untuk melanjutkan studi. Pada kisah yang sebanarnya, Marah Rusli, tidak pernah pergi ke Belanda. Buku ini memang semi autobiography dari Marah Rusli sendiri, yang menceritakan perjalanan kisah asmara dengan gadis Sunda bernama Raden Putri Kencana.
Penerbitan buku ini dapat dikatakan sebagai hadiah 50 tahun perkawinan antara Marah Rusli dan Raden Putri Kencana.
Remy Sylado:
Pembaca harus mencoba menarik  mundur 100 tahun kebelakang untuk dapat memahami konteks cerita dan gaya bahasa yang digunakan. Jadi pasti ada jarak antara teks dan seting cerita dengan pembaca.
Menurut Remy Sylado, ini adalah keberanian Mizan untuk menerbitkan buku klasik yang sekarang tidak popular. Tapi bisa penilaian itu salah, karena bisa jadi pasar pembaca buku saat ini sudah jenuh dengan buku-buku yang ada dan merindukan buku klasik semacam ini.
Sebagai buku klasik, pilihan menggunakan paper back untuk cover, menurut Remy Sylado,  kurang tepat. Seharusnya menggunakan hard cover.
Sebagai munsyi atau ahli bahasa, Remy Sylado mengupas buku ini dari kontek bahasa yang digunakan. Dikatakan bahwa Marah Rusli hidup dalam kontek ketika Indonesia mendapat pengaruh yang besar dari Belanda. Bahasa yang digunakan oleh Belanda pada waktu itu adalah Melayu Tinggi. Marah Rusli, sebagai salah satu pelajar yang mendapat didikan Belanda tentu terpengaruh dengan bahasa tersebut.  Dialog yang digunakan dalam buku Marah Rusli akan terdengar janggal, karena memang bahasa yang dipakai bukan bahasa pasar, atau bahasa yang dipakai sehari-hari, melainkan bahasa Melayu Tinggi yang sering dipakai Belanda. Tapi untuk sebuah pentas teater, naskah dialog model Marah Rusli ini akan terasa sangat kuat.
Fira Basuki:
Fira Basuki menanggapi buku ini secara personal, dikaitkan dengan pengalaman pribadinya yang srupa benar dengan cerita pada “Memang Jodoh.”
Fira Basuki yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga berdarah biru dan Kraton Jogja, pernah mengalami problema dalam menentukan jodoh. Tak soal dia pernah kuliah S2 di Amerika Serikat, yang tergolong sudah majudan modern. Ketika menentukan jodoh, maka keluarga besar akan ikut andil bagian. Budaya Jawa sangat kental dengan urusan bibit, bebet, bebet, bobot (garis keturunan, pangkat, kekayaan, penampilan), apalagi untuk golongan berdarah biru.

 

Sunday 29 September 2013

Haul Pangeran Joned Cikaret dihadiri Penziarah Dari Berbagai Daerah

http://kotabogor.go.id/component/content/article/1-berita-terbaru/9301-haul-pangeran-joned-cikaret-dihadiri-penziarah-dari-berbagai-daerah-
Peringatan Isra Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW dan Haul Pangeran Djonet Dipomenggolo putra dari Pangeran Diponegoro di Kampung Kebon Kalapa Kelurahan Cikaret Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor yang berlangsung, Ahad (1/7/2012) tidak saja di hadiri masyarakat setempat, tetapi juga para keturunan Pangeran Diponegoro dari luar daerah seperti Palembang, Surabaya, Maluku, Makasar dan Papua.

Menurut  juru pelihara makam Pangeran Jonet, Ustad Abdul Wafa yang juga masih keturunannya, kegiatan haul dilaksanakan diawali dengan berziarah bersama kemudian diskusi untuk mengaktifkan organisasi Ikatan Keluarga Diponegoro (Ikadi) agar lebih berkiprah dalam berbagai bidang diantaranya pendidikan, keagamaan, kesehatan dan bidang lainnya.

Salah satunya memberikan bantuan berupa beasiswa kepada keturunan Diponegoro yang dianggap kurang mampu. Bahkan organisasi ini akan mengeluarkan surat pengukuhan kepada para keturunan Dipenogoro dengan sebuah sertifikat.

Hal ini dimaksudkan agar mereka yang benar-benar keturunannya akan merasa aman  jelas asal-usulnya. Pada kesempatan itu juga, terungkap rencana untuk mengadakan haol Pangeran Dipenogoro.

Sekedar informasi Pangeran Djonet  Dipemenggolo, datang ke wilayah Jabaru Pasir Kuda Kota  Bogor, untuk melawan penjajahan Belanda dan syiar Islam bersama pasukannya  setelah sebelumnya   meninggalkan  Makasar dan singgah di Jakarta.

“Di Bogor sendiri mulanya datang  di Kampung  Jabaru Kelurahan Psir Kuda kemudian ke Kampung Dukuh Jawa, serta bermukim di Kebon Kelapa Cibeureum (sekarang Kel. Cikaret –Red) dan meninggal dan disemayamkan di sini bersama istri dan palaputeranya,”ungkap Wafa.



Sedangkan peringatan Isra Mi’raj sendiri dilaksanakan pada malam harinya dengan menampilkan tiga  penceramah tentang hikmah Isra dan Mi’raj  yakni    Habib Husen Al Habsyi Diponegoro, Habil Machdor dan KH. Kholidi dari Bakom Ciawi.

Masih menurut Wafa, sejumlah pejabat dari Pemda Kota dan Pemkab. Bogor akan hadir dalam Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW  tersebut.

Monday 16 September 2013

Anak anak RAy Gondomirah

RaY Gondomirah yang merupakan anak RM Harjomenggolo cucu Pangeran Jonet Dipomenggolo buyut dari Pangeran Diponegoro menikah dengan Tumenggung Suriadimenggala makam di pasirkuda mempunyai anak anak bernama :
1. RH Ibrahim (Rd Wiradinegara)
2. Nyi Rd Asmaya
3. Nyi Rd Enting Aisyah
4. Nyi Rd Siti Fatimah
5. Nyi Rd Antamirah
6. Rd Candraningrat (Suradiningrat)
7. Rd Y Gandaningrat
8. Rd Indris Tirtadiredja
9. Nyi Rd Rajamirah

kemudian No 9. Nyi Rd Rajamirah makam di Pasir Kuda menikah dengan Rd Kertadiredja memiliki 4 orang anak bernama :
1. Rd Yasin Winatadiredja, punya anak tapi tidak punya keturunan
2. Rd Siti Rahmat (makam pamoyanan wafat 1976) nikah dengan R Husein / wafat 1940 (camat Ciririp/Purwakarta)
3. Rd Tatang Muhtar makam Ciluar
4. Rd Icha Aisyah, di Belanda dari tahun 1935

No 2 Rd Siti Rahmat (makam pamoyanan wafat 1976) nikah dengan R Husein / wafat 1940 (camat Ciririp/Purwakarta)/sekarang Ciririp sudah menjadi bendungan Jatiluhur, memiliki putra 11 :
2.1. Rd.H.A.B. Yogapranatha, bandung, 2000 (Alm)
2.2. Rd. Syafei (Alm)
2.3. Ny. Rd. Tuti, pamoyanan, 1997 (Almh)
2.4. Rd. Hanafi (Alm)
2.5. Rd. Ali M. Ali Widyapranatha, pamoyanan (Alm)
2.6. Ny. Rd. Neneng Kulsum, sukabumi (Almh)
2.7. Ny. Rd. Hj. Iyoh Roswati, pamoyanan 2013 (Almh)
2.8. Rd. U. Effendi Madyaprana, pamoyanan 1986 (Alm)
2.9. Ny. Rd. Siti Sarah, pamoyanan (Almh)
2.10. Rd. H. Usman Satiaprana (Alm)
2.11. Rd. Enen Sutresna Yogaprana (masih ada saat tulisan ini dibuat)




sedangkan dari No 3 Rd Tatang Muhtar makam cilur  menikah dengan Ratu Juriyah binti Tubagus Affandi (makam di cikundul) memiliki 2 orang putri bernama :
3.1. Ny Rd Siti Aminah wafat di sukabumi tahun 1943
3.2. Ny Rd Umriyah wafat pondok cabe 2006

Salah satu cucu RAy Gondomirah bernama Rd Ratna Kencana menikah dengan Marah Roesli penulis cerita "Siti Nurbaya"  (kakek Harry Roesli/seniman) dimakamkan di belakang mesjid pasir kuda/gunung batu, Bogor.


RM. Harjo Dipomenggolo (anak Pangeran Jonet)

lahir 1836 di Jabaru makam gg wates Gunung Batu mempunyai anak anak bernama :

1. H. Muhammad Hasan
2. RM. H. Abdulrachman ADI Menggolo (Camat Ciomas)
3. RAy. Gondomirah nikah dengan Tumenggung Suriamenggala makam di pasirkuda
4. RM. H. Brodjomenggolo
5. RM. H. Abas (Penghulu Ciomas)

Anak anak Pangeran Jonet Dipomenggolo

nikah dengan  NYI MAS AYU Fatmah \ Bun Nioh (Cina)

melahirkan anak anak bernama :
1 . RM. Ngabehi Dipamenggala [Hamengku Buwono] lahir Bogor (Jabaru)  ~ 1834
2.  RM. Harjo Dipomenggolo lahir Bogor (Jabaru) ~ 1836
3.  RM. Harjo Dipotjokromenggolo lahir Bogor (Jabaru) ~ 1838
4. RM. H. Harjo Abdul Manaf lahir Bogor (Jabaru) ~ 1840
5. RM. Sahid Angkrih lahir Bogor (Jabaru) ~ 1842
6. NYI MAS RAy. Ukin lahir Bogor (Jabaru). ~ 1844
7. NYI MAS RAy. Okah lahir Bogor (Jabaru) ~ 1846

Anak anak Pangeran Diponegoro

Dari istri istri Pangeran Diponegoro bernama :
 1. RA. Retno Madubrongto nikah : 1803
 2. RA. Retnakusuma \ (RA. Supadmi
 3. RA. Retnodewati
 4. RA. Citrowati nikah: 1810
 5. RA. Maduretno lahir:  1798, Yogyakarta wafat  28 Februari 1828, Yogyakarta
 6. RA. Retnaningsih wafat  1865, Makasar
 7. RA. Retnakumala nikah : 1825
 8. RA. Retnaningrum

melahirkan anak anak bernama :

1. RM. Muhammad Ngarip (Diponegoro Anom) (Pangeran Abdul Majid) [Hamengku Buwono] lahir  1803
2. RM. Dipoatmaja RM. Dipokusuma (Pangeran Abdul Azis) [Hamengku Buwono] lahir 1805
3. Raden Suryaatmaja/Diponingrat/ Pangeran Adipati Anom/Raden Mas Sudiro Kromo  lahir 1807
4. R.M Sodewo/ R.M.Singlon/ /KI Sodewo/Pangeran Alip ? (Demang Notodirjo) lahir 1810
5. RM. Djonet Dipomenggolo  lahir  1815
6. RM. Roub ? (Pangeran Hasan) lahir 1816
7. RA. Impun/R.A. Basah Mertonegoro
8. R.A Joyokusumo
9. RA. Munteng/R.A Gusti/RA. Siti Fadilah/Nyai Musa
10. RA. Herjuminten
11. RA. Herjumerot
12. RA. Hangreni Mangunjaya
13. RM. Kindar/Pangeran Abdurrahman lahir 1832
14. RM. Sarkuma lahir 1834
15. R.M Mutawaridin/Pangeran Abdurrahim lahir 1835
16. R.A Putri Munadima/R.A Setiokusumo
17. R.M Dulkabli/Pangeran Abdulgani
18. R.M Rajab/Abdulrajab/Pangeran Abdulrajak lahir 1836
19. R.M Ramaji/Pangeran Abdulgafur
20. RA. Mangkukusumo
21. RA. Padmodipuro
22. RA. Poncokusumo

Asal Usul

PANGERAN DJONET atau Raden Mas Djonet Dipomenggolo, adalah putera pertama Pangeran Diponegoro yang lahir pada tahun 1815 1) di Yogyakarta dari Ibu kandung yang bernama R.A. Maduretno alias R.A. Ontowiryo alias R.A. Diponegoro yakni isteri kelima Pangeran Diponegoro putri ketiga Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Kanjeng Ratu Kedaton Maduretno Krama (putri HB II), jadi saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Pangeran Djonet memiliki adik kandung bernama Pangeran Roub/Pangeran Raab/Pangeran Raib, yang pada tahun 1840 berhasil dibuang Belanda ke Ambon dan meninggal disana. Ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, RA. Maduretno diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton l pada 18 Pebruari 1828 (walaupun saat itu Belanda berikut Kerajaan yang lain tidak mengakuinya). Pada saat itu Raden Mas Djonet Dipomenggolo masih berumur 13 tahun.

PANGERAN DJONET DI BOGOR (Tahun 1832 - 1885)

Pangeran Djonet pindah dari pelariannya di Batavia ke daerah pinggiran kota Bogor sekitar tahun 1832. Bersama pengikutnya keturunan bekas tentara kerajaan Mataram di Batavia (Daerah Matraman – Jakarta Timur), Pangeran Djonet membuka perkampungan baru yang akhirnya dikenal dengan nama Kampung JABARU, kependekan dari Jawa Baru.
Sarana transportasi darat yang umum pada masa itu kebanyakan menggunakan Kuda tunggang, kereta kuda, sepeda, sedikit kereta api dan mobil. Pangeran Djonet seperti halnya bangsawan di Keraton Yogyakarta tentunya sangat terlatih menggunakan kuda tunggang, oleh karenanya di sekitar kampong Jabaru, disuatu tempat yang berbentuk Pasir (nama lain dari Bukit) Pangeran Djonet dan para pengikutnya biasa menambatkan kuda-kudanya (kemungkinan besar, dipasir inilah dibangun Istal.
Untuk melihat situs makam pangeran Jonet dapat dilihat di :

http://www.youtube.com/watch?v=UL9s71V6zMA


PANGERAN DJONED DI BATAVIA (Tahun 1830-1832)

Setelah lolos dari proses pengasingan ke Pulau Sulawesi sesuai cerita sebelumnya, Pangeran Djonet muda yang baru berusia 15 tahun (1815-1830) dibantu pengikutnya  mencari tempat persembunyian sementara di daerah Batavia. Sebagai kelompok asing yang berkeliaran di Batavia yang notabene sebagai pusat kegiatan colonial pada masa itu tentunya baik Pangeran Djonet maupun pengikutnya yang asli Yogyakarta mencari sanak saudara, kerabat maupun tetangga yang sedaerah. Akhirnya dengan wawasan sejarah yang dimiliki sang Pangeran Muda diputuskan untuk mencari daerah Matraman (saat itu umur daerah Matraman sudah mencapai 208 tahun sejak penyerbuan Kerajaan Mataram ke Batavia).
Di Matraman, pengikut Pangeran Djonet terlebih dahulu mencari tokoh-tokoh setempat yang dianggap mengetahui asal-usul Matraman dan akhirnya memperkenalkan diri kepada mereka tentang keberadaan Pangeran Mataram (tidak menyebutkan nama/menggunakan nama alias) dan menceriterakan secara umum kondisi kejadian saat itu. Diluar perkiraan sang Pangeran, mereka menerima dengan amat terbuka sambil disertai perasaan haru, bangga dan rindu akan kampong halaman akhirnya berkat bantuan dan perlindungan masyarakat Matraman pada saat itu Pangeran Djonet beserta pengikutnya menetap di Batavia (Matraman) lebih kurang selama 2 tahun.
Selama menetap di Matraman dalam rangka mempertahankan diri dari kejaran tentara Belanda, Pangeran Djonet membentuk pasukan (semacam pengawal Raja) dengan merekrut pemuda-pemuda yang mayoritas keturunan prajurit Kerajaan Mataram walaupun ada juga dari etnis lain yang juga bergabung dengan suka rela (di komplek pemakaman Pangeran Djonet di Bogor dimakamkan juga komandan pasukan pengawal yang berasal dari Banten). Komunikasi keberadaan Pangeran Djonet di Batavia dengan pihak Keraton Yogyakarta (lebih kurang 19 orang Pangeran/turunan Sultan yang mendukung Pangeran Diponegoro) dilakukan melalui media kurir/mata-mata/telik sandi yang masing-masing bergerak menuju titik yang ditentukan (rendesvouz), dari Keratonlah Pangeran Djonet mendapatkan bantuan logistik yang diperlukan dalam membentuk pasukan pengawal.
Tahun 1832 Pangeran Djonet genap berusia 17 tahun, usia yang cukup dewasa bagi seorang keturunan Sultan untuk segera memulai hidup berumah tangga. Maka pada tahun 1832 Pangeran Djonet mempersunting Putri Bangsawan Tiongkok dari dinasti Tang yang bernama BUN NIOH kemudian berganti nama menjadi NYI MAS AYU FATMAH (tidak ada literature yang menyebutkan dimana proses pertemuannya). Kalau mengacu kepada usia Nabi Muhammad SAW menikah, usia tersebut masih terlalu muda, akan tetapi karena kondisi saat itu sedang dalam proses bersembunyi ataupun penyamaran (incognito) ditambah lagi kebiasan Raja-raja Kasultanan Yogyakarta anak lelaki tertua menikah pada saat usia menginjak dewasa. Setelah berumah tangga Pangeran Djonet pindah ke pinggiran Kota Bogor, akan tetapi komunikasi dengan masyarakat Matraman tetap terjalin dengan sangat baik, dan sering mengahdiri acara-acara keagamaan yang diadakan di Masjid Jami Mataram.
Berdirinya Masjid Jami Matraman memang tak lepas dari aktivitas bekas pasukan Sultan Agung Mataram yang menetap di Batavia. Nama wilayah Matraman pun disinyalir karena dahulunya merupakan tempat perkumpulan bekas pasukan Mataram. Untuk menjalankan aktivitas keagamaan bekas pasukan Mataram mendirikan sebuah Masjid di kawasan tersebut. Masjid yang didirikan pada tahun 1837 diberi nama Masjid Jami Mataram yang artinya Masjid yang digunakan para abdi dalem Keraton Mataram. Selain itu, pemberian nama tersebut dimaksudkan untuk menandakan bahwa masjid itu didirikan oleh para bekas pasukan Mataram. Keaslian Masjid Jami Matraman masih terlihat dari bagian depan gedung masjid yang belum pernah direnovasi. Pada jaman dahulu masjid itu merupakan masjid paling bagus di kawasan tersebut, dengan perpaduan gaya arsitektur masjid dari Timur Tengah dan India. Jika dilihat dari depan akan nampak bangunan seperti benteng dan pada dinding tembok mimbarnya dipenuhi dengan tulisan kaligrafi serta terlihat pula bentuk kubah bundar. Pada tahun 1837, masjid itu diresmikan oleh Pangeran Jonet (ahli waris Pangeran Diponegoro).

Perjuangan

Ketika ayahnya menyatakan diri sebagai penentang penjajah dan terusir dari Puri Tegalrejo, Raden Mas Joned baru berumur sepuluh tahun. Dia ikut rombongan pengungsi bersama keluarga besarnya ke Goa Selarong setelah Puri Tegalrejo digempur oleh pasukan Belanda. Dia sudah bisa merasakan bagaimana susahnya hidup dalam pengungsian dan hanya tinggal di dalam Goa bersama ibu dan saudara-saudaranya. Usianya masih terhitung anak-anak ketika dia lari mengikuti rombongan para penghuni Puri Tegalrejo dan para penghuni kampung sekitar puri. Terkadang sebuah tangan kokoh menyambarnya dan meletakkannya dalam gendongan sambil berlari mendorong gerobak dimana ibu dan bibinya menumpang menyatu dengan perbekalan seadanya. Orang itu tak lain adalah Sentot Prawiro Dirjo pamannya sendiri. Umur Raden Mas Joned sekitar 15 tahun ketika melihat ayahnya ditangkap oleh Belanda. Dia menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya tetap tegar menghadapi semuanya. Raden Mas Joned tidak kuasa menitikkan air mata ketika melihat ayahnya digiring dimasukkan ke dalam kereta yang membawanya ke pengasingan. Marah dan dendam, itulah yang ada di dalam benak Raden Mas Joned. Jiwa mudanya sangat terguncang dan itulah yang membuat Raden Mas Joned selalu melakukan perlawanan dimanapun dia melihat orang Belanda. Raden Mas Joned berusaha membebaskan ayahnya dengan cara mengejar ke Ungaran, lalu ke Semarang. Dia berhasil menyusup ke dalam kapal pembawa Pangeran Diponegoro tetapi ketahuan dan Raden Mas Joned menceburkan diri ke laut. Dia tidak putus asa karenanya. Raden Mas joned lalu mengejar Pangeran Diponegoro melalui darat bersama beberapa orang pengikutnya menuju Batavia. Sesampainya di Batavia, Pangeran Joned berusaha mendekati tempat penyekapan Pangeran Diponegoro, tetapi sayang, mata-mata mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro telah dipindahkan menggunakan kapal ke arah Timur

Latar Belakang

Diawali dengan inisiatif Presiden Soekarno memperingati 100 tahun Haul Pangeran Diponegoro di tgl. 8 Januari 1955 di Istana Negara,  yang disampaikan oleh : Dr. F.L. Tobing (Menteri Penerangan RI), Mr. Muhd. Yamin (Menteri P.P. & K.), dan Ir. Soekarno (Presiden R.I).

Dr. F.L. Tobing (Menteri Penerangan RI) :
“Utjapan bersedjarah Diponegoro jang disambut dengan penuh kesanggupan oleh pengikut-pengikutnja, masih tetap bergema di kalbu kita sekarang, dan akan tetap bergema bagi anak tjutju kita. Beliau berkata : “Rumah kita telah habis terbakar mendjadi abu : marilah kita dirikan jang baru di dalam kalbu”.

Mr. Muhd. Yamin (Menteri P.P. & K.) :
“Tanggal wafat Diponegoro 8 Djanuari 1855, adalah menurut tiga kenjataan. Pertama-pertama, karena wafatnja beliau itu adalah dituliskan dalam suatu acta notaries tiga lembar. Jang dua lembar sudah hilang, dan lembar jang ketiga terdapat di Algemene Secretarie dan sekarang sudah disimpan dalam Land’s Archief di kota Djakarta ini. Disana disebutkan bahwa beliau meninggal pada tanggal 8 Djanuari 1855 pagi-pagi hari pada djam 06.30. Kemudian kenjataan dari acta notaries ini dikuatkan lagi dengan pembatjaan tulisan nisan daripada beliau sendiri di kota Makassar, jang membenarkan tanggal jang disebutkan tadi”.

(Presiden R.I) :
“Pahlawan di belakang perdjuangan Diponegoro jalah isteri beliau sendiri Ratnaningsih, seorang bangsawan berharta jang menaburkan segala hartanja kepada rakjat untuk berdjuang di Selarong.  Ja, Diponegoro telah berdiri diatas realiteit jang sehebatnja, jaitu realiteit bersatu dengan rakyat. Tidakkah sedjarah mengatakan bahwa ia tidak mau tunduk didalam keraton, lebih baik dia duduk diluar keraton bersatu dengan rakjat; Tegalredjo, di Selarong, ditempat jang lain-lain”.